REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dira Sugandi merasa takut tetapi penasaran untuk melakukan pementasan monolog, karena tampil sendirian di panggung serta berbicara di hadapan penonton adalah hal yang sebetulnya dia takuti. Namun, rasa penasaran justru membuatnya ingin mencoba hal yang menurutnya seram.
"Sayangnya saya seseorang yang menyukai tantangan," kata dia di konferensi pers "Di Tepi Sejarah" diJakarta pada Senin (15/8/2022)
"Jadi saat kesempatan itu datang, diajak Happy Salma, saya tak bisa menolak," tambahnya.
Happy Salma adalah produser pementasan "Di Tepi Sejarah", monolog yang dibuat atas kerjasama Titimangsa, KawanKawan Media dan Direktorat Perfilman dan Media Bar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Monolog ini mengangkat kisah sosok-sosok yang tak banyak diketahui sejarahnya, namun sebetulnya punya andil untuk Indonesia.
Pada musim kedua yang akan tayang di YouTube Budaya Saya dan kanal Indonesiana TV mulai 17 Agustus, Dira Sugandi dipercaya memerankan pelukis Emiria Soenassa dalam episode berjudul "Yang Tertinggal di Jakarta". Emiria Soenassa adalah pelukis perempuan pertama di Indonesia yang juga dikenal sebagai pemikir revolusioner yang turut menjadi anggota delegasi dalam Konferensi Meja Bundar.
Emiria baru mulai melukis saat telah berusia 45 tahun, tetapi sangat produktif dalam menghasilkan karya. Ia bergabung dalam organisasi Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang kebanyakan anggotanya adalah laki-laki, dengan usia yang jauh lebih muda darinya. la mengikuti berbagai pameran lukis dan memenangkan beberapa penghargaan. Sebelum aktif menjadi pelukis, Emiria sempat menjadi perawat dan kepala perkebunan.
Dalam majalah Perintis yang terbit tahun 1951, Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia, menyebut Emiria sebagai perintis dan mendudukkannya sejajar dengan Chairil Anwar dan Kartini. Bukan hanya perintis dalam seni lukis Indonesia, tetapi ia juga disebut sebagai juru rawat maupun kepala perkebunan pertama yang berkebangsaan Indonesia.
Dira, yang rutin bermeditasi sejak 2019, setiap latihan menjalani rutinitas itu untuk "menghadirkan" Emiria dan berdialog di atas panggung. Kebiasaannya membantu Dira tetap tenang dan fokus selama latihan.
Naskah dari Felix Nesi dan arahan dari sutradara Sri Qadariatin membantu Dira menyampaikan monolog perdananya. Dalam pementasan ini, sutradara memilih membiarkan Dira tampil tanpa mengubah penampilan fisiknya seperti Emiria yang berambut panjang. Dira tetap tampil dengan rambut pendeknya yang khas.
"Saya biarkan Emiria di panggung dengan rambut Dira karena saya ingin membawa spirit Emiria kepada kita di masa sekarang," kata Sri.
Penulis Felix Nesi mengakui dirinya sempat kesulitan dalam menggarap naskah monolog lantaran data mengenai Emiria tak terlalu banyak. Saat mencari bahan dari kesaksian orang yang pernah bertemu Emiria kala masih kecil, ada kalanya ingatan saksi sudah kabur. Ada juga informasi yang sudah disampaikan dari mulut ke mulut sehingga sehingga dia harus memilah mana informasi yang bisa dipercaya, mana yang tidak. Tapi yang pasti, ia meyakini Emiria adalah sosok hebat yang patut disebut pahlawan.
"Sudah saatnya kita melihat pekerja seni bagian dari pahlawan kita, jadi bukan hanya yang memegang senjata, tapi yang membentuk identitas Indonesia lewat kerja seni dan kebudayaan," kata Felix.