REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian terbaru dari South East Asian Nutrition Surveys kedua (SEANUTS II) mendapati prevalensi anak stunting dan anemia, khususnya di antara anak-anak usia di bawah lima tahun di Indonesia, masih tinggi. Sebagian anak Indonesia yang menjadi bagian dari penelitian mengenai status gizi, asupan gizi, perilaku dan gaya hidup di empat negara Asia (Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam) itu juga belum terpenuhi rata-rata asupan vitamin dan mineral yang direkomendasikan untuk tumbuh kembangnya.
SEANUTS II merupakan lanjutan SEANUTS I yang dipublikasikan pada2013. Penelitian skala besar ini dilakukan oleh FrieslandCampina, dalam rentang waktu antara 2019 dan 2021, bekerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian terkemuka di Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam.
Studi ini melibatkan hampir 14 ribu anak antara usia enam bulan hingga 12 tahun, khusus menyoroti triple burden of malnutrition yang terdiri dari kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro, dan kelebihan berat badan atau obesitas. Ketiga masalah ini sering kali terjadi berdampingan di suatu negara dan bahkan bisa terjadi dalam satu rumah tangga.
Stunting adalah salah satu bentuk dari kekurangan gizi di Indonesia yang masih menjadi isu yang perlu diperhatikan. Peneliti Utama SEANUTS II di Indonesia, Prof Rini Sekartini, menjelaskan bahwa kasus stunting masih banyak ditemukan pada anak di wilayah Jawa-Sumatra dengan prevalensi sebesar 28,4 persen.
Ini artinya, satu di antara 3,5 anak berperawakan pendek. Adapun prevalensi anemia adalah 25,8 persen pada anak di bawah lima tahun. Sementara hampir 15 persen anak usia tujuh hingga 12 tahun memiliki kelebihan berat badan atau obesitas.
"Secara keseluruhan, SEANUTS II menunjukkan bahwa permasalahan stunted atau berperawakan pendek dan anemia masih ada, terutama pada anak-anak usia dini. Namun, untuk anak yang berusia lebih tua, tingkat prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi," kata Prof Rini dalam paparannya di Jakarta, Selasa (21/6/2022).