REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) kini sedang menghadapi gelombang Covid-19 keempat dan terbesar. Para ahli meyakini bahwa jumlah riil kasus Covid-19 yang saat ini terjadi di negara tersebut jauh lebih besar dari yang sudah dilaporkan.
Jumlah rerata penambahan kasus Covid-19 baru di AS saat ini adalah sekitar 94.000 per hari. Kasus yang membutuhkan perawatan di rumah sakit juga mulai meningkat sejak April lalu, meski masih dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan lonjakan sebelumnya.
Survei terbaru di New York City menemukan bahwa jumlah kasus atau beban infeksi yang sebenarnya terjadi sekitar 30 kali lebih tinggi dibandingkan angka yang diketahui saat ini. Menurut tim peneliti, temuan ini merupakan hal yang cukup mengejutkan.
Berdasarkan survei ini, sekitar satu dari lima orang dewasa di New York City telah mengalami Covid-19 pada periode 23 April hingga 8 Mei. Ini berarti ada sekitar 1,5 juta orang dewasa di New York yang terkena Covid-19 hanya dalam waktu dua pekan. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan laporan resmi dari pemerintah pada waktu itu.
Meski studi ini hanya dilakukan di New York City, tim peneliti menilai tren yang sama juga mungkin terjadi di seluruh penjuru negeri. Faktanya, warga New York City memiliki akses pengetesan Covid-19 yang jauh lebih baik dibandingkan kebanyakan wilayah lain di AS. Artinya, kekurangan perhitungan kasus di wilayah lain mungkin lebih buruk dibandingkan di New York City.
"Ini sangat mengkhawatirkan. Bagi saya, ini berarti bahwa kemampuan kita untuk benar-benar memahami dan melampaui virus masih kurang," ujar peneliti dan profesor di bidang epidemiologi dari City University of New York School of Public Health, Denis Nash, seperti dilansir //The Guardian, Jumat (3/6/2022).
Survei ini juga mengungkapkan bahwa lebih dari setengah pasien Covid-19 tidak mengetahui soal Paxlovid. Paxlovid merupakan obat antivirus yang sudah mendapatkan izin penggunaan darurat di AS untuk membantu mencegah perawatan di rumah sakit dan kematian pada kelompok berisiko.
Peneliti juga menemukan bahwa orang-orang yang memiliki akses terhadap Paxlovid cenderung berusia lebih muda dan lebih berdaya. Hal ini mengindikasikan bahwa Paxlovid mungkin belum sampai menjangkau kelompok yang sangat membutuhkan.
Gap atau perbedaan yang besar antara jumlah kasus yang dilaporkan dengan prediksi jumlah riil di kehidupan nyata mungkin dapat menjelaskan mengapa banyak orang tidak menyadari bahwa AS saat ini sedang menghadapi gelombang Covid-19 yangs erius. Bahkan, orang-orang yang memberikan perhatian lebih mungkin tak menyadari seberapa luas penyebaran Covid-19 yang terjadi saat ini di negara tersebut.
"Kita selalu tahu ada kekurangan perhitungan, namun kita sebelumnya tak pernah mengetahui seberapa banyak kekurangan perhitungan tersebut," jelas Nash.
Perbedaan besar ini kemungkinan dipengaruhi oleh meluasnya kit pengetesan Covid-19 secara mandiri di rumah. Hasil tes Covid-19 mandiri ini biasanya tidak dimasukkan dalam hitungan resmi jumlah kasus Covid-19. Kelelahan pandemi dan kurangnya informasi juga turut membuat sebagian orang tidak melakukan pengetesan meski mengalami gejala atau terpapar oleh virus.
Tanpa data yang baik mengenai gambaran kasus Covid-19, akan sangat sulit untuk membangun perlindungan dalam melawan penyakit menular yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini. Saat ini, luasnya cakupan vaksinasi telah membuat jumlah kasus berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan kematian Covid-19 lebih rendah dibandingkan gelombang sebelumnya.
"Tapi kita belum berada pada posisi di mana kita bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa setiap lonjakan varian baru tidak akan menyebabkan lonjakan kematian," pungkas Nash.