REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1988, sekelompok peneliti di London sempat memberikan prediksi dan peringatan mengenai cacar monyet. Wabah cacar monyet yang terjadi saat ini tampaknya membuktikan bahwa prediksi tersebut benar.
"Rerata besaran dan durasi epidemi cacar monyet akan meningkat," tulis tim peneliti, seperti dilansir NPR, Selasa (31/5/2022).
Pada saat itu, cacar monyet merupakan penyakit yang sangat langka. Bahkan di Afrika Barat dan Tengah, tenaga kesehatan hanya mendeteksi beberapa kasus cacar monyet dalam setahun.
Pasien-pasien cacar monyet pada waktu itu hanya tertular penyakit melalui tikus atau primata yang terinfeksi. Selanjutnya, pasien menularkan virus kepada sedikit orang. Penularan antaramanusia sangat terbatas.
Meski begitu, para peneliti menilai kasus cacar monyet yang saat itu masih sporadis akan berkembang secara geografis, baik dalam jumlah maupun luas penyebaran. Semua laporan ilmiah mengenai cacar monyet dari berbagai wabah di masa lalu juga selalu menyertakan peringatan mengenai pentingnya persiapan untuk menghadapi lebih banyak wabah di masa mendatang.
"Prediksi tersebut telah terbukti benar," ungkap dokter spesialis penyakit menular dari Emory University Boghuma Titanji.
Sebagai gambaran, pada era 1990-an, hanya ada sekitar 50 kasus per tahun yang ditemukan di Afrika Tengah dan Barat. Sekitar 20 tahun kemudian, pada 2020, ada lebih dari 5.000 kasus cacar monyet yang dilaporkan.
Saat ini, pada 2022, dunia kembali dihadapkan pada wabah cacar monyet. Sejauh ini, sudah ada lebih dari 450 kasus yang dilaporkan oleh sekitar 20 negara.
Banyak ilmuwan meyakini ada lebih banyak lagi kasus cacar monyet yang saat ini terjadi namun tak terdeteksi. Virus monkeypox juga diprediksi menyebar di tengah masyarakat yang sebelumnya tidak pernah terdampak oleh virus tersebut.
Menurut ahli epidemiologi dari University of California Anne Rimoin, situasi yang terjadi saat ini turut dipengaruhi oleh tercapainya eradikasi smallpox (cacar). Berbeda dengan cacar air, cacar atau smallpox disebabkan oleh virus variola.
Seperti diketahui, cacar merupakan salah satu penyakit mematikan dalam sejarah manusia. Selain sangat menular, virus variola memiliki tingkat kematian sekitar 30 persen pada orang yang terinfeksi. Sebagai perbandingan, virus monkeypox hanya menyebabkan kematian kurang dari 1 persen pada orang yang terkena cacar monyet.
"Jadi cacar monyet, dalam semua iterasinya, jauh lebih ringan dibandingkan cacar," ujar Rimoin.
Lewat kampanye vaksinasi yang masif, dunia berhasil mengeradikasi cacar pada 1980. Keberhasilan ini menyelamatkan jutaan jiwa setiap tahunnya dan dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar di bidang kesehatan masyarakat.
Akan tetapi, Rimoin mengatakan eradikasi cacar ini membuka pintu bagi cacar monyet untuk "mencuat" ke permukaan. Alasannya, virus penyebab cacar dan cacar monyet berasal dari keluarga virus yang sama. Riwayat infeksi cacar atau vaksin cacar memberikan proteksi yang baik untuk mencegah cacar dan juga cacar monyet.
Menurut studi, proteksi ini mencapai sekitar 85 persen. Dengan kata lain, proteksi cacar memberikan perlindungan silang dalam melawan cacar monyet.
Pada akhir 1970-an, dunia mulai menghentikan program vaksin cacar. Karena kebanyakan orang sudah mendapatkan perlindungan dari riwayat infeksi alami dan vaksin, kasus cacar pun tak lagi ditemukan.
Namun dalam kurun waktu empat puluh tahun ke belakang, imunitas terhadap cacar dan cacar monyet mengalami penurunan karena orang tak lagi mendapatkan vaksin cacar atau terkena cacar. Orang-orang berusia lanjut yang pernah divaksinasi atau terkena cacar pun kebanyakan sudah menutup usia.
Sebagai hasilnya, populasi dunia saat ini memiliki imunitas yang sangat rendah terhadap cacar monyet. Bahkan saat ini populasi dunia sedang berada pada titik di mana mereka memiliki imunitas paling rendah terhadap cacar monyet.
Mengingat imunitas dalam populasi tak bisa meningkat dalam waktu dekat, wabah cacar monyet yang ada saat ini diprediksi akan semakin banyak ditemukan sejalan dengan waktu. Memberikan vaksin kepada orang-orang yang berkontak dekat dengan pasien dinilai dapat membantu otoritas kesehatan mencegah cepatnya penyebaran cacar monyet.
"Kita ingin mencegah cacar monyet jadi menetap seperti (di Nigeria atau Republik Demokratik Kongo) pada negara-negara lain," jelas Rimoin.