REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pil antivirus Pfizer sangat efektif merawat pasien Covid-19 di rumah sakit. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, mereka yang mengonsumsi Paxlovid dapat mengalami gejala lagi setelah pulih.
Para ahli penyakit menular mengungkapkan tentang kasus-kasus pemulihan virus, seperti seorang pasien yang membaik, kemudian jatuh sakit lagi. Namun, ada pertanyaan tentang bagaimana pasien dan penyedia layanan kesehatan harus merespons itu.
Dengan sebagian besar hanya laporan anekdot yang keluar, pertanyaan tetap ada, apakah pasien Covid-19 bergejala dapat merasakan lagi gejalanya setelah menggunakan Paxlovid? Lalu, apakah mereka tetap harus mengisolasi diri?
Bagi pasien yang kembali mengalami gejala, perubahan mendadak juga dapat membuat cemas tentang apakah mereka harus mencari perawatan lebih lanjut. Seorang pengembang perangkat lunak yang sudah vaksinasi dan menerima booster di Philadelphia, Michael Henry (31 tahun) pertama kali sakit karena Covid-19 pada 4 April lalu.
Henry mengaku menggigil dan demam. Henry yang memiliki kondisi medis yang meningkatkan risiko penyakit parah, mendapat resep Paxlovid dari pusat perawatan darurat pada hari berikutnya.
Dalam 48 jam, Henry merasa benar-benar baik-baik saja. Namun, satu pekan setelah dosis terakhirnya, dia jatuh sakit lagi, dengan gejala seperti pilek yang lebih ringan, dan tetap sakit selama sekitar lima hari.
"Saya agak terkejut. Tidak ada panduan tentang apa yang harus dilakukan. Apakah saya harus mengisolasi diri? Bagaimana saya menjaga keluarga saya tetap aman?" kata Henry, dilansir Today, Kamis (28/4/2022).
Henry menelepon dokternya, saluran informasi Covid-19 Philadelphia, dan perawat asuransi kesehatan untuk mencari kejelasan. Hanya saja, setiap orang yang dia ajak bicara memberinya jawaban yang berbeda.
Paxlovid telah diresepkan sejak Desember 2021, ketika Food and Drug Administration (FDA) memberikan otorisasi darurat untuk orang-orang yang berisiko tinggi terkena Covid-19. Perawatan lima hari dosis resep mengurangi risiko rawat inap atau kematian sebesar 88 persen dalam uji klinis.
Pemerintah federal, yang sepenuhnya menanggung perawatan, telah mengirimkan lebih dari 1,7 juta dosis ke negara bagian sejak Paxlovid diberi lampu hijau. Gedung Putih mengatakan akan menggandakan jumlah lokasi ketersediaan Paxlovid, karena banyak dosis yang tidak digunakan.
"Masih banyak yang belum kita ketahui tentang Covid-19 dan cara terbaik untuk mengobatinya," kata wakil direktur penelitian klinis dan proyek khusus di Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular, Clifford Lane.
Menurut Lane, anekdot-anekdot ini memberi alasan untuk memeriksa kembali durasi terapi, pendekatan terapi, serta tes laboratorium lain yang mungkin digunakan untuk memprediksi siapa yang bisa mendapat manfaat dari pengobatan yang lebih lama. Kepala staf di VA Boston Healthcare System, Michael Charness mengunggah pra-cetak yang merinci kasus seorang pria berusia 71 tahun yang telah divaksinasi penuh dan menerima booster mengalami kekambuhan infeksi virusnya, setelah dia menggunakan Paxlovid.
Studi kasus sedang ditinjau oleh jurnal medis. Pasien Charness, yang menderita asma intermiten, memulai perawatan Paxlovid pada hari gejala Covid-19-nya muncul.
Dua hari kemudian, gejala penyakit pada pasiennya mulai sirna. Namun, sekali lagi muncul selama sekitar empat hari.
Urutan genetik virusnya menunjukkan bahwa virus itu tidak mengembangkan resistensi terhadap dua obat di Paxlovid. Pasien itu juga tidak terinfeksi ulang. Tes untuk virus pernapasan lainnya mengungkapkan bahwa virus corona tipe baru (SARS-CoV-2) adalah satu-satunya patogen yang membuatnya sakit.
Pfizer dan para ahli lainnya melaporkan belum ada bukti yang muncul bahwa siapa pun yang mengalami peningkatan virus seusai pemberian Paxlovid memiliki virus yang telah mengembangkan resistensi terhadap pengobatan. Namun demikian, kemungkinan itu menjadi perhatian.
"Jika seseorang memiliki kasus kekambuhan SARS-CoV-2 pasca pemberian Paxlovid versus infeksi ulang, penting untuk melaporkannya ke otoritas kesehatan masyarakat," ujar spesialis penyakit menular, Céline Gounder.
Juru bicara Pfizer Kit Longley mengatakan, perusahaan terus memantau data dari studi klinis yang sedang berlangsung tentang Paxlovid serta bukti nyata terkait dengan kasus kekambuhan pasca pemberian Paxlovid. Orang yang mengalami rebound seperti itu, menurut Longley, dapat menyampaikan pengalaman mereka ke portal Pfizer untuk melaporkan efek samping terkait Paxlovid.
Dokumentasi ilmiah tentang kekambuhan pasca pemberian Paxlovid sebenarnya sudah tersedia sejak musim gugur lalu. Permohonan Pfizer ke FDA untuk otorisasi penggunaan darurat Paxlovid menyatakan bahwa dalam uji klinis terkontrol plasebo (yang mencakup 2.246 peserta), beberapa subjek tampaknya mengalami peningkatan kadar RNA SARS-CoV-2 sekitar hari ke-10 atau hari ke-14, setelah memulai pengobatan.