Rabu 09 Mar 2022 00:45 WIB

Bagaimana Stres Orang Tua Bisa Pengaruhi Kesehatan Anak?

Banyak orang tua stres di masa pandemi.

Rep: Eva Rianti/ Red: Muhammad Hafil
 Bagaimana Stres Orang Tua Bisa Pengaruhi Kesehatan Anak?. Foto:  Stres (ilustrasi)
Foto: Pixnio
Bagaimana Stres Orang Tua Bisa Pengaruhi Kesehatan Anak?. Foto: Stres (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON – Di tengah kondisi pandemi Covid-19, masalah kesehatan mental menjadi sangat umum terjadi, terutama bagi kalangan orang tua. Para peneliti menyebutkan, kondisi stres orang tua dapat memengaruhi kondisi kesehatan anak, seperti penurunan fungsi otak janin anak.

Ilmuwan Bayi sekaligus Psikolog dari Rutgers University, Vanessa LoBue dalam Psychology Today mengatakan, meskipun kita hidup di masa yang belum pernah terjadi sebelumnya, stres kronis atau stress yang terus-menerus dan berlebihan untuk jangka waktu yang lama bukanlah hal baru. Individu yang mengalami trauma, seperti pengungsi yang mencoba melarikan diri dari pemerintahan yang menindas, atau keluarga yang berjuang dengan kemiskinan, hidup dengan stres kronis selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Akibatnya, para peneliti telah menyelidiki efek stres orang tua pada anak-anak mereka.

Baca Juga

Penelitian klasik telah menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di lingkungan yang penuh tekanan dapat berakhir dengan segala macam masalah perilaku dan emosional di beberapa titik selama perkembangan. Misalnya, kecemasan orang tua dan stres rumah tangga telah dikaitkan dengan masalah emosional anak termasuk masalah perilaku, agresi, kecemasan, dan depresi (Fields et al., 2021).

Stres ibu juga telah dikaitkan dengan faktor-faktor pada masa bayi yang memprediksi kecemasan di kemudian hari seiring bertambahnya usia bayi. Yaitu temperamen yang sulit atau temperamen yang ditandai dengan banyak emosi negatif. Selanjutnya, kecemasan dan depresi ibu dikaitkan dengan impulsif anak-anak dan masalah dengan perhatian (Van den Bergh, et al., 2017).

Lalu yang penting, stres dapat mulai berdampak pada seorang anak bahkan sebelum ia lahir. Misalnya, ibu yang mengalami semacam trauma selama kehamilan, seperti ibu yang hamil saat Holocaust atau harus mengungsi dari World Trade Center pada 9/11, cenderung melahirkan bayi yang berisiko lebih besar mengalami depresi dan kecemasan. Bayi-bayi ini juga memiliki komplikasi kelahiran yang lebih signifikan termasuk gangguan aliran darah rahim, kelahiran prematur, dan berat badan lahir rendah. Masalah melahirkan ini dapat menyebabkan hipertensi atau diabetes di kemudian hari (Bowers & Yehuda, 2016).

“Hal ini menunjukkan bahwa efek trauma dan stres kronis tidak hanya dapat mempengaruhi biologis ibu dan janinnya, tetapi juga dapat ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” ujar LoBue.

Penelitian baru tentang topik ini telah melibatkan pemindaian otak janin melalui perut ibu hamil mereka untuk memeriksa konsekuensi neurobiologis dari stres kronis. Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa stres pada ibu dikaitkan dengan penurunan fungsi otak janin mereka (Nelson et al., 2020).

Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian baru-baru ini, para peneliti memindai lebih dari 100 ibu hamil dan menemukan bahwa stres ibu dikaitkan dengan penurunan konektivitas otak fungsional pada janin. Dengan kata lain, ibu yang stres memiliki janin dengan penurunan aktivitas fungsional otak jika dibandingkan dengan ibu yang kurang stres. Yang penting, bayi dari ibu yang stres juga lahir lebih cepat, konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menghubungkan stres prenatal dengan komplikasi kelahiran (Thomason et al., 2021).

“Saya tahu ini terdengar buruk, dan untuk beberapa bayi memang demikian, tetapi perubahan otak janin sebagai akibat dari stres ibu sebenarnya adalah tanda bahwa otak kita yang sedang berkembang beradaptasi dengan tantangan potensial yang dapat dihadapi bayi di lingkungan mereka. Sayangnya, bagi sebagian dari kita, itu termasuk keadaan yang membuat stress,” terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement