REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Novavax telah mengajukan permintaan ke Food and Drug Administration (FDA) untuk otorisasi penggunaan darurat sebagai kandidat vaksin Covid-19 pada 31 Januari 2022. Lebih dari 30 negara, termasuk Inggris, Australia, dan Jerman, telah menyetujui vaksin ini untuk penggunaan darurat.
Tidak seperti vaksin mRNA, seperti Pfizer dan Moderna, vaksin Novavax menggunakan teknologi yang lebih lama berbasis protein. Vaksin flu dan vaksin hepatitis B--yang juga menggunakan teknologi ini, telah diberikan dokter di seluruh AS sejak 1986.
Protein di dalam vaksin Novavax meniru protein lonjakan (spike protein) virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Proteinnya dibuat dalam sel ngengat kemudian diolah menjadi nanopartikel. Meskipun berbagi struktur molekul dengan SARS-CoV-2, protein tersebut tidak mereplikasi atau menyebabkan Covid-19.
Vaksinasi melibatkan penyuntikan nanopartikel ke otot lengan bersama senyawa yang diekstraksi dari pohon soapbark, yang bertindak sebagai adjuvant untuk menarik sel kekebalan ke tempat suntikan. Suntikan vaksin dosis lengkap membutuhkan dua dosis yang diberikan dengan jarak tiga pekan.
Hasil dari dua uji coba fase III Novavax telah dipublikasikan. Satu percobaan di Amerika Serikat dan Meksiko melibatkan 29.949 peserta berusia 18 tahun ke atas yang sebelumnya tidak tertular SARS-CoV-2. Dengan rasio dua berbanding satu, mereka menerima dua dosis vaksin Novavax atau plasebo.
Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa vaksin Novavax 92,6 persen efektif melawan varian virus alpha dan beta. Mereka juga melacak efek samping selama tujuh hari setelah suntikan setiap dosis.
Meskipun efek samping juga terjadi setelah dosis pertama, tetapi kasusnya lebih sering terjadi setelah dosis kedua. Efek samping yang umum, termasuk sensitif di tempat suntikan untuk 73 persen peserta, rasa sakit saat dan setelah vaksinasi untuk 60 persen peserta, kelelahan 50 persen peserta, nyeri otot untuk 48 persen peserta, sakit kepala untuk 44 persen peserta, malaise untuk 39 persen peserta.
Kemudian, efek samping yang kurang umum setelah dosis kedua, seperti demam untuk 6 persen peserta termasuk kasus yang parah untuk 0,37 persen, mual dan muntah untuk 11 persen peserta termasuk kasus yang parah untuk 0,23 persen, nyeri sendi untuk 22 persen peserta termasuk kasus yang parah untuk 2,44 persen. Percobaan yang lebih kecil termasuk 15.187 peserta di Inggris menemukan hasil yang serupa.
Data sejauh ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan vaksin Novavax mungkin memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada vaksin Pfizer dan Moderna. Setelah dosis kedua vaksin Pfizer, sebanyak 66 persen melaporkan nyeri, 60 persen kelelahan, 52 persen sakit kepala, 38 persen nyeri otot, 22 persen nyeri sendi, 16 persen demam, 2 persen muntah.
Sementara itu, setelah dosis kedua vaksin Moderna, sebanyak 88 persen mengalami rasa sakit, demam 16 persen termasuk 1,4 persen kasus parah, 59 persen sakit kepala, 66 persen kelelahan, 43 persen nyeri sendi, 19 persen muntah. Seperti vaksin Novavax, efek samping lebih umum terjadi setelah dosis vaksin kedua.
Siapa yang harus mendapatkan Novavax? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan Novavax pertama untuk mereka yang hidup dengan kondisi dengan risiko Covid-19 parah, seperti penderita penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, dan diabetes. Kedua, orang yang pernah tertular Covid-19 di masa lalu. Ketiga, orang yang sedang menyusui dan yang tidak.
WHO tidak merekomendasikan vaksin ini untuk orang dengan riwayat anafilaksis terhadap komponen apa pun di dalam vaksin. Orang dengan gejala Covid-19 yang dikonfirmasi PCR sampai mereka pulih dan menyelesaikan isolasi diri juga tidak disarankan mendapatkannya.
Demikian pula dengan orang dengan suhu tubuh lebih dari 38,5 derajat Celsius. Pemberian Novavax harus menunggu sampai orang tidak demam lagi.
Orang di bawah 18 tahun pun tidak direkomendasikan menerima vaksin Novavax. Sebab, penelitian yang mempelajari keamanan dan kemanjurannya masih berlangsung.
WHO juga menyoroti bahwa data tentang vaksinasi selama kehamilan belum tersedia. Namun, karena vaksin berbasis protein lainnya memiliki kemanjuran yang sebanding pada orang hamil dan tidak hamil, mereka mengatakan bahwa vaksin Novavax mungkin sama.
Karena itu, WHO merekomendasikan agar ibu hamil mendapatkan informasi tentang risiko Covid-19 selama kehamilan, potensi manfaat vaksinasi, dan batasan data keamanan sehingga mereka dapat mengambil keputusan sendiri. Namun, WHO merekomendasikan orang hamil untuk divaksinasi dalam situasi di mana manfaatnya lebih besar daripada risikonya.