REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membesarkan anak bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan ilmu bahkan kesiapan mental dalam pola pengasuhan. Namun bagaimana jadinya jika orang tua punya penyakit mental seperti depresi atau kecemasan, luka pengasuhan, dan lainnya?
Hal itu bisa menjadikan proses pengasuhan dirasa lebih sulit. Banyak orang tua mengira bahwa merekalah satu-satunya yang berjuang seperti itu.
Padahal, mengasuh anak dengan penyakit mental jauh lebih umum dibandingkan yang diperkirakan banyak orang. Dalam survei orang tua di AS, lebih dari 18 persen melaporkan memiliki penyakit mental dalam satu tahun terakhir.
Kepala Asosiasi Layanan Klinis di Departemen Psikiatri dan Layanan Perilaku di Boston Children’s Hospital, dr Patricia Ibeziako, mengatakan ciri orang tua yang berurusan dengan gangguan kecemasan mungkin terlalu protektif, merampas kesempatan anak mereka untuk mempelajari keterampilan memecahkan masalah. Atau seorang anak yang menyaksikan perilaku cemas orang tuanya hingga pada gilirannya dapat mengembangkan ketakutan dan kekhawatiran.
Penyakit mental orang tua bisa meningkatkan risiko anak untuk gangguan mental di masa depan. Tetapi ini bukan satu-satunya kemungkinan.
“Memiliki orang tua dengan penyakit mental tidak selalu menyebabkan tekanan klinis yang signifikan pada anak,” kata dr Ibeziako, seperti dikutip dari laman Children Hospital, Rabu (12/1/2022).
Hal itu bergantung pada banyak faktor, termasuk jenis dan tingkat keparahan penyakit mental orang tua, berapa lama itu berlangsung, dan juga usia anak. Anak-anak paling rentan terhadap efek penyakit mental orang tua di tahap perkembangan emosional tertentu. Tahap pertama dimulai sejak bayi hingga sekitar usia lima tahun. Ini adalah periode penting perkembangan otak ketika bayi dan balita membentuk keterikatan yang kuat.
Dr Ibeziako mengatakan, orang tua dengan penyakit mental mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan anak mereka terkait ikatan. Bayi atau balita yang kehilangan koneksi emosional positif dapat mengembangkan masalah yang mengatur emosi dan perilaku mereka sendiri. Ini mungkin terjadi saat mengamuk, sulit tidur, regresi dalam latihan pispot, atau mengompol.
Masa rawan berikutnya adalah remaja. Sesulit apa pun perilaku mereka, remaja bergantung pada orang tua untuk struktur dan penguatan positif. Namun, orang tua yang bergumul dengan penyakit mental sehingg kurang memperhatikan kebutuhan anak remajanya.
Atau mereka mungkin fokus sepenuhnya pada kesalahan yang dilakukan anak tanpa menyeimbangkan umpan balik negatif dengan pujian. “Depresi orang tua, lekas marah, atau toleransi frustrasi yang rendah dapat menyebabkan remaja bertindak dengan cara yang mengganggu,” kata dr Ibeziako.
Kurangnya energi yang sering dialami orang tua yang depresi juga dapat mempengaruhi kemampuannya untuk memperhatikan rutinitas sekolah anaknya. Tanpa dukungan orang tua, anak usia sekolah mungkin kesulitan untuk pergi ke sekolah atau kegiatan sepulang sekolah tepat waktu. Menyelesaikan pekerjaan rumah bisa menjadi tantangan yang luar biasa.