REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memantau ada 42,1 persen hoaks kesehatan sebelum pandemi Covid-19. Hoaks terkait kesehatan berada di posisi tiga setelah isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dan politik.
Saat kondisi pandemi, penyebarluasan hoaks kesehatan lebih banyak lagi. Bahkan, kondisi itu berdampak pada tenaga kesehatan, salah satunya kekerasan terhadap perawat dan dokter di lapangan.
"Hoaks bisa membunuh masyarakat, kalau terkait masalah kesehatan," kata Ketua Tepilih PB IDI, dr. Moh Adib Khumaidi SpOT dalam acara virtual "Kontroversi Hoaks dan Pseudosains Kesehatan di Media Sosial" yang diselenggarakan Perhimpunan Profesional Kesehatan Muslim Indonesia (Prokami), Ahad (3/10).
Adib mengatakan, timnya mengupayakan adanya kontrol sosial. Apalagi, penyebar hoaks bukan hanya masyarakat umum. Tenaga kesehatan ada juga yang menjadi sumber hoaks.
Hoaks paling banyak berupa teks dan gambar, entah berupa berita palsu, umpan klik, informasi bias, ketinggalan informasi, hingga propaganda. Tema hoaks-nya beragam, mulai dari tips kesehatan, resep tradisional, penemuan terbaru, informasi seolah-olah menjadi info terbaru dan mencenangkan, hingga hasil penelitian yang melawan manfaat vaksin Covid-19.
Apa yang membuat hoaks semakin menjamur? Adib menjelaskan, pandemi menyebabkan dislokasi sosial. Artinya, kondisi seseorang yang mengalami interaksi atipikal yang tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu lama sehingga bisa menimbulkan emosi negatif, depresi, dan dapat menganggu kesehatan mental.
"Inilah yang kemudian dengan mudahnya masyarakat menerima informasi yang kita sebut hoaks atau pseudosains," kata Adib.