REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa pandemi tidak hanya membuat masyarakat khawatir terinfeksi virus Covid-19. Namun informasi bohong atau hoaks yang menghiasai internet, juga menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat. Perempuan atau orang tua dalam sebuah keluarga diharapkan menjadi jendela informasi agar tidak terpapar dengan berita bohong di masa pandemi saat ini.
Multi peran yang dimiliki perempuan sudah dirasakan sebelum dan setelah pandemi Covid-19. Namun di masa pandemi ini semua aktivitas yang dilakukan secara digitalisasi membuat harus lebih meningkatkan literasi digital, khususnya informasi terkait kesehatan.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Widyawati mengatakan, proses vaksinasi terhambat karena karena banyaknya informasi tidak benar terkait vaksin tersebut. Oleh karena itu, menurut Widyawati perempuan berperan sebagai sumber informasi untuk meluruskan informasi yang tidak benar.
"Melalui perempuan ini juga kami banyak karena tim kami perempuan, maupun dia WFH, ibu rumah tangga atau bekerja, kita sebarkan info kita bahwa harus vaksin, harus protokol kesehatan, misalnya 3M 5M kita terus sebarkan. Pemerintah tidak kerja sendiri, pemerintah perlu kerja bareng sama masyarakat,” ujarnya dalam diskusi daring Katadata dengan tema "Peran dan Tantangan Perempuan Dalam Literasi Digital di Masa Pandemi" pada Senin (20/9).
Widyawati menambahkan, Kemenkes terus meningkatkan literasi digital khususnya informasi kesehatan dengan daerah melalui pemerintah daerah. Puskesmas dinilai menjadi garda terdepan sumber informasi bagi masyarakat. Melalui kader-kader di sejumlah daerah melakkan penyuluhan terkait program kesehatan pemerintah.
Dalam webinar yang sama, Certified Positive Discipline Parent Educator & Positive Parenting Influencer Damar Wijayanti memiliki cara sendiri untuk memanfaatkan digitaliasi dalam keluarga di masa pandemi ini. Terlebih seluruh aktivitas khusunya bagi anak dilakukan melalui internet. Damar mengatakan orang tua dan anak harus memiliki batasan dalam menggunakan internet. Anak harus dilibatkan sejauh mana batasan yang boleh atau tidak selama mengakses internet.
"Batasan yang paling gedenya yang gak boleh dilanggar itu kita (orang tua) cari. Misalnya untuk anak 3 tahun rekomendasi dari WHO itu screentime berapa lama. Misalnya 2 jam, itu kita perlu tetapkan dulu. dalam satu hari kamu (anak) boleh 2,5 atau 3 jam. Dua jam sudah digunakan untuk belajar online, setengah jam lagi kamu mau gunakan untuk apa?. Sehingga anak merasa dilibatkan dalam keputusan ini,” ujarnya.
Koordinator Nasional Japelidi Novi Kurnia juga memaparkan data dari We Are Social Social Digital report 2021. Bahwa pengguna internet di Indonesia didominasi laki-laki (50,3% dibandingkan perempuan (49,7%). Bahkan literasi untuk perempuan diusia diatas 15 tahun lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Namun berdasarkan penelitian Jaringan Pegiat Literasi Koordinator Nasional (Japelidi) di 18 wilayah di Indonesia, perempuan lebih tinggi banyak mengisi ruang internet (55,7%) dibandingkan laki-laki (44,3%).
"Perempuan disini berhak menjadi subjek dari literasi digital bukan menjadi objek, berhak berparisipasi dan berkolaborasi dengan mematikan hak-haknya dalam menggunakan digital dan meminimalisir kesenjangan digital terutama dalam meningkatkan kompetensi kritis,” ujar Novi Kurnia.
Menurut Novi, terdapat empat pilar bagi perempuan untuk cakap bermedia digital. Pertama, perempuan harus optimalkan internet untuk diri dan sesama. Kedua, perempuan mempunyai hak digital setara dengan laki-laki. Ketiga, perempuan sebagai panutan dalam berinternet. Keempat perempuan jaga aman diri, keluarga dan orang lain.