REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris dari Singapura ke Vietnam pada 24 Agustus sempat ditunda setelah adanya laporan dari Kedutaan AS di Hanoi mengenai kasus "gangguan akustik". Kasus itu melibatkan terdengarnya suara aneh oleh orang yang terdampak.
Meskipun Harris akhirnya tiba juga di Hanoi, Departemen Luar Negeri AS tetap menyelidiki kemungkinan insiden anomali kesehatan yang umumnya dikenal sebagai sindrom Havana. Sejatinya, ini bukan penyakit yang baru muncul.
Sindrom Havana pertama kali terdeteksi di antara mata-mata dan diplomat yang bekerja di Kedutaan Amerika di Havana, ibu kota Kuba, pada 2016. Dilansir Times of News pada Sabtu (28/8), gangguan kesehatan yang tidak dapat dijelaskan itu dilaporkan oleh orang Amerika yang bertugas di negara lain, termasuk Jerman, Austria, Rusia, dan China.
Apa sebenarnya sindrom Havana? Pasien akan menunjukkan berbagai gejala, termasuk mual, gangguan pendengaran, kehilangan memori, pusing, dan tinnitus.
Beberapa orang yang mengalaminya juga melaporkan mendengar suara menusuk keras dan merasakan tekanan kuat di wajah. Itulah yang dimaksud dengan "gangguan akustik".
Menurut laporan New York Times, ketika kasus pertama dilaporkan pada 2016, para pejabat mengeluh karena merasa dibombardir oleh gelombang tekanan di kepala mereka. Beberapa yang lain mengatakan mereka merasa seolah-olah berdiri dalam pancaran energi tak terlihat.
Diagnosis menunjukkan ada kerusakan jaringan yang mirip dengan kondisi disebabkan kecelakaan mobil atau ledakan bom. Apa yang menyebabkannya?
Penyebab sindrom Havana belum dipastikan. Berdasarkan penyelidikan awal, lembaga-lembaga AS meyakini bahwa sindrom itu merupakan tindakan yang "disengaja".
Prediksi mereka mencakup kemungkinan serangan sonik hingga gelombang mikro yang ditargetkan atau bahkan tindak spionase atau upaya peretasan. Para penyelidik telah menginvestigasi setiap kemungkinan penyebab, tetapi tidak ada hasil yang meyakinkan.
Sindrom Havana kemudian diusulkan masuk dalam kategori penyakit psikogenik atau psikologis. Para ilmuwan mengatakan, sindrom itu mungkin disebabkan oleh lingkungan misi asing yang penuh tekanan, yang menjelaskan mengapa para diplomat paling terpengaruh.