Rabu 25 Aug 2021 18:09 WIB

Mengenal Ragam Bahan Pangan Lokal Unik Khas NTT

Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal dengan bahan pangan lokalnya yang unik.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal dengan bahan pangan lokalnya yang unik (bahan pangan sorgum khas NTT)
Foto: Republika/Desy Susilawati
Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal dengan bahan pangan lokalnya yang unik (bahan pangan sorgum khas NTT)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap daerah di Indonesia memiliki bahan pangan lokal khas dan unik. Tidak terkecuali di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan sejumlah sumber karbohidrat dan juga sumber protein nabati.

Bahan pangan lokal yang paling mengemuka di NTT adalah sorgum. Beberapa tahun belakangan, sorgum pun sedang naik daun karena bebas gluten, sehingga bisa menjadi solusi bagi anak berkebutuhan khusus.

Baca Juga

Dikutip dari rilis pers #IndonesiaBikinBangga, sorgum dikonsumsi sebagai pengganti nasi. Tekstur dan rasanya tidak jauh berbeda dari beras. Cara dan lama memasaknya pun serupa.

Produk sorgum kini lazim didapat di toko bahan makanan sehat. Sumber pangan itu cocok dikonsumsi orang yang harus mengonsumsi plant-based food guna mendapat protein dan karbohidrat sekaligus.

Terdapat banyak varian sorgum yang kaya serat dan tumbuh subur di lahan kering NTT. Warnanya sangat beragam, yaitu putih, cokelat, kuning, merah, merah marun, hingga hitam, dengan tekstur berbeda-beda.

Keberadaan sumber pangan ini tidak bisa dipisahkan dari budaya. Misalnya, Ende punya upacara khusus bernama Ngoa Lolo untuk sorgum. Kalau sorgum tidak dilestarikan, upacara itu tentu tidak ada lagi.

Tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk nasi, masyarakat setempat sudah membuatnya sebagai sereal atau mengolah tepung sorgum sebagai bahan kue. Selain bulirnya, batang sorgum bisa dimanfaatkan menjadi gula sorgum, atau difermentasi menjadi kecap.

Bahan pangan selanjutnya adalah jewawut, yang biasanya disantap sebagai kudapan. Jewawut biasa dibuat seperti bubur jagung dengan cita rasa agak manis, bisa dinikmati di pagi hari atau sore hari.

Rasa jewawut sebetulnya tawar, sehingga saat membuatnya terkadang diberi gula atau santan. Bubur dari jewawut kerap dimanfaatkan oleh masyarakat NTT untuk memulihkan kesehatan orang yang baru melahirkan.  

Selain itu, NTT adalah surganya kacang. Jika bertandang ke Flores dan menyambangi pasar tradisional, pelancong akan menemukan banyak sekali jenis kacang. Kacang bisa dicampur dengan sayuran, nasi, jagung, atau dibuat kudapan.

Beberapa jenisnya yaitu kacang tanah dari Sumba dan kacang hijau dari Flores Timur. Kacang merah pun macam-macam. Ada kacang merah Ende, Paleo, dan Flores Timur, dengan rupa polos maupun seperti batik.

Masyarakat NTT biasanya menanam sorgum dan kacang-kacangan dalam satu kebun. Meski ukuran lahan terbilang kecil, kebutuhan karbohidrat dan protein keluarga tetap tercukupi.

Culinary storyteller Ade Putri menyampaikan, tekstur tanah tempat kacang ditanam akan sangat berpengaruh terhadap rasa. Dia pernah menjajal kacang batik goreng yang berbeda warna dan rasa dari kacang tanah goreng.

Tidak berwarna cokelat muda polos seperti kacang tanah, kacang batik memperlihatkan bintik-bintik merah. Rasanya pun lebih manis. "Bukan karena bumbu, melainkan rasa asli dari kacang batik itu sendiri," kata Ade.

Pangan lokal lain dari NTT adalah daun kelor, yang kaya antioksidan. Vitamin C di dalamnya tujuh kali lipat lebih tinggi daripada jeruk, juga kalium 15 kali lipat lebih banyak daripada pisang.

Agroecosystem Program Manager dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Renata Puji Sumedi Hanggarawati, menyampaikan bahwa masyarakat NTT kerap mengonsumsi daun kelor.

Daun kelor telah dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi gizi buruk pada anak mengingat angka stunting di Flores Timur yang cukup tinggi. Inisiatif itu digagas oleh salah satu puskesmas setempat.

Petugas puskesmas memberi makanan tambahan berupa sorgum serta kelor dan sayuran lain kepada anak-anak dengan gizi buruk. Program berdurasi tiga bulan tersebut berhasil meningkatkan berat badan anak.

"Program itu kemudian diuji coba di beberapa puskesmas lain, hingga kemudian dibuatlah kampanye solor, yaitu sorgum kelor. Ini merupakan bukti nyata bahwa ternyata pangan lokal mampu mengatasi stunting dan gizi buruk,” ungkap Puji lewat pernyataan resminya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement