REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Otoritas obat Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA), telah mengizinkan penggunaan darurat terapi antibodi monoklonal untuk pencegahan Covid-19 sejak pekan lalu. Terapi ini ditujukan bagi sekitar tiga persen orang Amerika yang mengalami gangguan kekebalan.
Mereka yang memiliki penyakit autoimun, pasien HIV, pasien kanker, dan penerima transplantasi organ dapat menggunakan terapi antibodi monoklonal ketika terpapar atau berisiko tinggi tertular Covid-19. Kelompok ini dianggap masih rentan menderita Covid-19 parah, bahkan setelah mendapatkan vaksinasi lengkap.
Ini adalah pertama kalinya terapi antibodi virus corona dalam sediaan suntikan, Regen-Cov disetujui untuk digunakan sebagai pencegahan Covid-19 setelah seseorang terpapar virus. Peneliti terkemuka di balik investigasi khasiat Regen-Cov, Myron Cohen, mengatakan bahwa antibodi monoklonal melindungi dari penyakit parah.
Cohen menyebut, Regen-Cov bekerja dengan mengatasi infeksi virus corona saat kebanyakan masih ada di hidung dan tenggorokan. Dengan begitu, Covid-19 tak berkembang menjadi parah.
"Ini adalah perlombaan antara kemampuan Anda untuk membuat antibodi guna melindungi paru-paru dan seluruh tubuh Anda melawan virus. Dan jika Anda kemungkinan besar akan kalah, Anda adalah orang yang cocok untuk obat antibodi ini," kata peneliti dariUniversity of North Carolina di Chapel Hill, Amerika Serikat, dilansir NBC pada Kamis (5/8).
Di sisi lain, FDA mengatakan, adanya otorisasi penggunaan darurat tidak berarti antibodi monoklonal boleh dianggap sebagai pengganti vaksinasi. FDA menyerukan semua yang memenuhi syarat untuk divaksinasi.
"Senang mengetahui kita sekarang dapat membantu melindungi orang-orang yang tidak merespons vaksin dengan baik, termasuk mereka yang tidak dapat memproduksi antibodi, agar tidak terinfeksi SARS-CoV-2 dengan memberi mereka antibodi setelah terpapar," kata Ghady Haidar, seorang dokter penyakit menular dan pakar transplantasi di University of Pittsburgh Medical Center.