REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia Mega Tala Harimukthi berpendapat, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya fenomena panic buying beberapa waktu lalu di Indonesia. Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali pada 3 Juli-20 Juli 2021 merupakan faktor pertama.
Sebetulnya, menurut Tala, PPKM Darurat tidak perlu ditanggapi masyarakat dengan sikap panik. Apalagi, masyarakat sebenarnya sudah punya pengalaman dibatasi kegiatannya pada tahun lalu melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan mereka baik-baik saja.
Dalam kasus PPKM kali ini, menurut Tala, masyarakat sebetulnya juga tidak perlu panik sehingga menimbulkan persepsi akan terjadi kelangkaan produk-produk kebutuhan sehari-hari di masa mendatang. Itulah yang mendorong keinginan memborong atau panic buying.
"Kondisi ini kita hanya dibatasi untuk tidak keluar kalau tidak ada kepentingan. Ini untuk kebaikan kita dan keluarga. Sebenarnya kita tahu kebutuhan bulanan keluarga apa saja, kita punya daftarnya, semisal vitamin, makanan, cukup ikuti list itu, jadi tidak perlu bersikap cemas sampai panik," kata Tala saat dihubungi Antara, Selasa.
Padahal, memborong barang belum tentu membuat seseorang merasa lebih baik. Tindakan ini justru bisa menyebabkan kelangkaan produk yang semestinya tidak perlu terjadi atau kalaupun tersedia harganya melambung tinggi dari biasanya.