Rabu 30 Jun 2021 13:53 WIB

Stunting pada Balita Ancam Bonus Demografi 2030

Orang tua muda menjadi aset penting untuk memutus mata rantai stunting.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
ilustrasi Stunting
Foto: Republika/Mardiah
ilustrasi Stunting

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar nutrisi, Ray Wagiu Basrowi, menyoroti pentingnya peran anak muda dari kalangan milenial dan Gen Z dalam memutus mata rantai stunting. Stunting atau perawakan kerdil akibat malnutrisi kronis merupakan permasalahan serius di Indonesia.

Menurut Ray, tingginya angka stunting pada balita di Indonesia bisa mengancam keberhasilan bonus demografi pada 2030 menuju Generasi Emas 2045. Komitmen nasional pemerintah dalam pencegahan dan penurunan stunting perlu dukungan segenap elemen bangsa.

Pakar kedokteran komunitas itu menyampaikan, kaum milenial dikenal memiliki karakteristik melek digital serta punya kemampuan engagement dan berjejaring yang mumpuni. Hal tersebut dianggapnya menjadi kombinasi yang luar biasa kuat di era revolusi industri 4.0.

Pria yang meraih gelar doktor dari Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI itu mengemukakan, populasi generasi milenial dan generasi Z adalah populasi dominan di Indonesia. Artinya, banyak ibu muda dan orang tua muda yang memiliki balita adalah kaum milenial. 

"Jadi mereka ini adalah aset penting untuk dirangkul dalam upaya memutus mata rantai stunting di Tanah Air," ujar Ray ketika menjadi narasumber dalam webinar nasional "Peran Milenial Cegah Stunting" yang digelar BKKBN Pusat.

Founder dan Chairman Health Collaborative Center itu menegaskan pula peran krusial figur publik dari kalangan milenial untuk mengampanyekan isu stunting. Figur publik dinilai punya kemampuan menjangkau audiens, baik secara emosional, psikologis, dan pragmatis.

Ray berharap pemerintah termasuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) turut memanfaatkan kemajuan informasi digital dengan sungguh-sungguh. Sehingga, pemanfaatan teknologi memberikan dampak yang besar untuk ke depannya.

Pemilik akun Instagram @ray.w.basrowi itu berpendapat kalangan milenial sudah menyadari potensi itu. Mereka banyak berinovasi dengan membuat program kampanye kesehatan masyarakat secara digital dengan pesan-pesan ringan dan mudah dimengerti.

Mayoritas menekankan pentingnya pola asuh, pola makan, dan aspek gizi seimbang dalam komunikasi komunal. Ray mencontohkan kelompok jejaring anak muda di Probolinggo yang menggunakan local heroes untuk menyasar pendidikan gizi ibu-ibu muda.

Ada pula kalangan milenial di Kediri yang membuat aplikasi dan gawai khusus bermuatan lokal untuk memberi pengetahuan mengenai stunting. Begitu pula beberapa lokasi di Jakarta yang menggunakan pendekatan pemantauan tumbuh kembang balita jarak jauh.

Platform teknologi termasuk media sosial penting disiapkan, serta peningkatan kapasitas melek digital di bidang gizi dan kesehatan. Komponen kurikulum kesehatan dan gizi berbasis kearifan lokal pun bisa masuk dalam program kampanye kesehatan masyarakat, bermitra dengan jejaring milenial, organisasi kepemudaan, dan influencer.

Deputi Pengembangan BKKBN, Profesor Rizal Damanik, setuju dan menyambut baik ajakan dan rekomendasi pendekatan dari Ray. Rizal menyampaikan bahwa BKKBN akan merangkul kaum milenial dalam program kemitraan strategis pencegahan stunting di Indonesia.

Salah satunya, dengan memastikan generasi milenial terlibat dalam kolaborasi 1.000 Mitra untuk 1.000 Hari Pertama Kehidupan dari BKKBN yang baru saja diluncurkan awal tahun ini. Hal itu sejalan pula dengan usulan pakar kesehatan yang sudah melakukan literature review

"Usulan mendapati bahwa milenial Indonesia di berbagai daerah juga proaktif berinovasi dalam penanggulangan stunting, sehingga mereka harus dirangkul," kata Rizal.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement