REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri rumahan tenun khas Manggarai Barat yang berkembang di Nusa Tenggara Timur (NTT) membutuhkan regenerasi kaum muda agar bisa melanjutkan keahlian yang diwariskan para leluhur mereka. Pasalnya, saat ini, para perajin tenun NTT sudah cukup tua.
"Harapan kami bukan tentang bisnis tetapi bagaimana mempertahankan tenun karena usia perajin 35-60 tahun, belum ada regenerasi," kata perajin tenun Hironimus Viktoriamus Jenamu di Lembor Selatan, Manggarai Barat, NTT, Selasa (15/6).
Penetapan ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yakni Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas dan premium menumbuhkan industri properti, restoran, dan wisata membuat generasi muda alih profesi ke sektor tersebut. Selain butuh penenun muda, perajin juga mendapatkan tantangan adanya persaingan dengan produk tenun pewarna tekstil.
Tenun Manggarai Barat menggunakan pewarna alam yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan, sehingga harganya cenderung mahal ketimbang tenun pewarna tekstil. Harga kain tenun pewarna alam dibanderol Rp1,5 juta per lembar ukuran panjang empat meter dengan lebar 75 sentimeter, sedangkan tenun pewarna sintetis dihargai Rp500 ribu per lembar kain.
Segmentasi pasar yang spesifik menyasar kalangan menengah ke atas membuat perajin tenun Manggarai Barat harus berjuang untuk memasarkan produk wastra mereka. Metode penjualan digital melalui media sosial dan market place menjadi pilihan perajin di tengah penurunan daya beli konsumen ke gerai akibat pandemi COVID-19.
Sementara itu, akses internet yang memadai hanya terletak di Labuan Bajo. Akses internet di luar daerah itu masih menjadi tantangan bagi industri lokal.
Ketua Asosiasi Kelompok Usaha Unitas (Akunitas) Manggarai Barat Maria Srikandi mengatakan saat ini hanya ada tiga kelompok tenun dengan jumlah 10-15 orang per kelompok. Dia menjelaskan, usaha tenun masih belum menjadi pekerjaan utama warga di Manggarai Barat sehingga dari sisi produksi masih terbatas. Meski demikian, pihaknya terus berupaya menumbuhkan semangat para perajin untuk terus mempertahankan usaha tenun mereka.
"Ini masih menjadi pekerjaan sampingan hanya beberapa orang saja yang fokus mengerjakan tenun," kata Maria.
Para perajin tenun di Manggarai Barat kini mengembangkan kain tenun pakai pewarna alam dengan memanfaatkan aneka tumbuh-tumbuhan. Warna kuning dihasilkan dari batang nangka, warna cokelat berasal dari kulit mahoni, dan warna merah bersumber dari akar serta batang secang.
Kulit kedondong juga bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan warna cokelat, buah kemiri untuk warna putih, daun tembakau menghasilkan warna hijau, dan rumput indigofera untuk warna biru. Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan untuk bahan pewarna kain menghasilkan tenun yang berwarna kelem, sehingga menjadikan tenun Manggarai Barat punya ciri khas tersendiri dibandingkan tenun dari daerah lain di Flores seperti Sikka, Sumba, dan Ende.