REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film animasi Raya and the Last Dragon tayang di bioskop Indonesia mulai 3 Maret 2021. Ini pertama kalinya Walt Disney Animation Studios menghadirkan film animasi yang terinspirasi dari kebudayaan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Berlatar di sebuah negeri bernama Kumandra, cerita menyoroti pendekar perempuan yang tangguh bernama Raya (Kelly Marie Tran). Dahulu kala, manusia dan naga hidup berdampingan dengan damai di negeri tersebut.
Saat kekuatan jahat mengancam negeri itu, para naga mengorbankan diri demi menyelamatkan manusia. 500 tahun kemudian, kekuatan jahat kembali mengusik kedamaian Kumandra. Nasib mereka bergantung pada Raya.
Bersama sahabat setianya, Tuk Tuk, Raya mencari sang naga terakhir, Sisu (Awkwafina). Mereka kemudian berjuang mempersatukan kembali tanah Kumandra bersama beberapa teman yang ditemui Raya selama di perjalanan.
Sang sutradara, Carlos López Estrada, hendak memastikan penonton dapat merasakan kekayaan alam dan budaya Asia Tenggara yang indah ketika menyaksikan film. Meskipun, Kumandra adalah dunia fantasi yang fiktif.
"Kami merancang Kumandra agar tetap dinamis dan menggambarkan kehidupan sehari-hari yang begitu dekat dengan masyarakat di Asia Tenggara. Kami ingin memberi penghormatan kepada budaya yang menginspirasi cerita dan dunia Kumandra ini," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Dikutip dari pernyataan resmi Disney, ragam kekayaan budaya khas Asia Tenggara terwakili dalam motif, warna, arsitektur, makanan, dan adat istiadat masyarakat Asia Tenggara. Begitu juga nilai-nilai seperti saling percaya dan gotong-royong.
Para kru film melakukan perjalanan riset ke seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Laos, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura. Proses produksi film juga melibatkan para ahli yang membantu memberikan wawasan budaya.
Raya and the Last Dragon menggandeng antropolog, arsitek, linguis, penari, dan pemain musik tradisional dari tiap negara. Dari Indonesia, seniman Griselda Sastrawinata terlibat sebagai visual development artist.
Luis Logam menjadi story artist, sementara pegiat budaya Dewa Berata dan Emiko Susilo menjadi bagian dari tim konsultan. Khususnya, dalam hal budaya Indonesia, tarian dan upacara tradisional, serta musik gamelan.
"Semangat persatuan demi kebaikan, terlepas dari perbedaan, merupakan prioritas bersama saat ini. Kami harap, film ini dapat memperlihatkan pentingnya gotong-royong, kebersamaan, dan saling percaya," ujar produser film, Osnat Shurer.