Jumat 11 Dec 2020 14:36 WIB

Art Therapy Jadi Solusi Kesehatan Mental pada Masa Pandemi

Sebanyak 64,8 persen dari sekitar 7.000 responden telah mengalami masalah psikologis.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Gita Amanda
Stres (Ilustrasi)
Foto: Flickr
Stres (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergi pagi, pulang malam dan menghadapi anak-anak yang rewel di rumah, membuat Novi Taslim merasakan stres yang terus menerus selama pandemi. Sebagai karyawan salah satu perusahaan di Jababeka, Novi tetap harus bekerja di kantor selama pandemi. Aktivitasnya di kantor memang tidak berubah banyak, tetapi hal yang membuatnya stres telah menunggunya di rumah.

Anak-anak yang harus belajar daring selama pandemi, bergantung padanya. Mereka mengerjakan pekerjaan rumah harus dibantu ibunya. "Kebayang udah capek terus harus ngajarin anak-anak juga. Jadi kadang-kadang tarik urat deh sama anak-anak," cerita Novi.

Meskipun pekerjaan suaminya lebih banyak di rumah, Novi merasa suaminya tidak telaten dalam membantu kedua anak mereka belajar. Anak-anak jadi lebih sering mengandalkan dirinya, sehingga ini membuat percekcokan rumah tangga sering terjadi. Agar hal yang menyebabkan stres ini tidak terus-menerus terjadi, sekarang Novi lebih kendor dalam menyuruh anak-anaknya belajar.

Lain lagi dengan Heri Susanto (35 tahun), sebagai suami seorang perawat ia merasakan beban psikologisnya semakin menumpuk selama pandemi. Pekerjaan sang istri yang dapat memungkinkannya terinfeksi virus corona membuat Heri terus menerus merasa cemas berlebihan mengenai kesehatan istrinya.

Selama pandemi, Heri yang seorang wartawan lebih banyak bekerja dari rumah, sehingga tugas mengurus anak jatuh ke tangannya. "Saya merasa sering cemas ke banyak hal, pekerjaan, kesehatan istri dan anak -anak. Saya jadi sulit tidur dan konsentrasi," tutur Heri.

Rutinitas yang jauh berbeda ini juga berpengaruh kepada anak Heri yang berusia enam tahun, yang jadi sering mengamuk dan menangis.

Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Heri rutin mengajak keluarganya berkemah setiap dua pekan sekali. Sebelum pandemi, mereka memang suka berkemah, namun aktivitas ini jadi lebih sering dilakukan saat ini agar kesehatan mental mereka tetap terjaga. "Jadi merasa lebih lega. Biasanya jalan-jalan juga sama keluarga," kata Heri.

Dalam riset yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI), sebanyak 64,8 persen dari sekitar 7.000 responden telah mengalami masalah psikologis selama enam bulan terakhir. Berdasarkan swaperiksa yang dilakukan oleh PDSKJI menunjukkan bahwa umumnya masyarakat mengalami gangguan kecemasan, depresi dan trauma psikologis.  

Menurut Psikiater dr. Lahargo Sp.KJ, dalam swaperiksa PDSKJI tersebut juga dicantumkan kuesioner mengenai bunuh diri. "Ini data yang mengagetkan, 1 dari 5 orang atau 15 persen dari 64,8 persen responden memikirkan hal tersebut (bunuh diri) setiap hari," ujar dr. Lahargo kepada Republika.

Pandemi bukan satu-satunya penyebab yang mendorong munculnya gangguan kejiwaan. dr. Lahargo menjelaskan, penyebab gangguan kejiwaan merupakan multifaktor, seperti genetis, trauma kepala dan faktor sosial. Pandemi merupakan faktor sosial yang menjadi pemicu tingkat stress semakin tinggi.

Kurang bersosialisasi, terbatasnya aktivitas dan hanya berdiam di satu tempat, membuat gangguan psikologis muncul. Maka dari itu, banyak yang mengalami masalah psikologis merupakan orang-orang dari generasi milenial yaitu yang berusia 17-29 tahun. Selain itu, lansia juga kerap mengalami stres karena terbatasnya aktivitas dan gagap teknologi.

Kendati begitu, tingkat stres orang-orang yang berkeluarga juga tidak bisa dianggap remeh. Anak-anak yang masih dalam usia bermain, lebih sulit untuk menyesuaikan diri ketika harus belajar online dan hanya bermain di dalam rumah.

"Orang tua harus bisa mengatasi tingkat stresnya, dan membantu anak-anak menyesuaikan diri. Karena situasi semacam ini akan berdampak kepada gangguan psikologis anak-anak juga," jelas dr. Lahargo.

Ia mengingatkan agar orang tua lebih memperhatikan kebutuhan anak dengan menciptakan suasana yang nyaman untuk belajar, tidak membebani anak-anak dengan nilai di saat belajar daring, serta memberikan kegiatan motorik atau berolah raga. Selain itu, mereka juga harus diberi asupan makanan bergizi dan tidur yang cukup.

"Anak-anak juga harus terhubung dengan teman-teman dan keluarga agar stres bisa berkurang. Interaksi sosial tetap diperlukan meski interaksi fisik dibatasi," kata dr. Lahargo.

Dosen Seni di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Art Therapist, Ardhana Riswarie, mengungkapkan bahwa selama pandemi, anak-anak hingga remaja merupakan kelompok umur yang paling rentan terganggu kondisi psikologisnya.

Psikologis anak-anak terganggu akibat perubahan dinamika dan rutinitas di keluarga. Kalangan remaja yang baru mulai mencari jati diri dan lebih suka berkumpul dengan teman-teman dibandingkan keluarga, merasa lebih cepat stres ketika hanya diam di rumah. Begitu pun mahasiswa, khususnya mahasiswa perantau.

"Banyak mahasiswa saya yang stres karena kuliah daring dan hanya di kosan saja, dan mereka juga banyak memikirkan arah masa depan mereka," ungkap Ardhana.

Terapi seni (art therapy), kata Ardhana, sangat membantu dalam mengatasi perasaan stres. Terapi yang menggunakan kerajinan tangan baik dua dimensi dan tiga dimensi ini dapat membuat psikologis seseorang menjadi lebih rileks. Makanya banyak anak-anak dan remaja yang mengikuti terapi ini.

Menurut salah satu pengguna terapi seni, Anissa (27 tahun), terapi ini cocok bagi orang-orang yang merasa kurang nyaman konseling ke psikolog. Sebagai seorang yang bekerja di bidang kreatif, ia merasa cocok melakukan terapi dengan menggunakan bidang seni.

Ia mengalami masalah psikologis bahkan sebelum pandemi. Tapi di saat pandemi dan ada pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), justru ia memiliki waktu untuk melakukan terapi.

Setelah melakukan terapi selama sekitar 2-3 bulan, ia merasa ini menjadi jeda untuk merefleksikan diri serta melatih kesadaran diri supaya hidup lebih seimbang.

"Sebagai orang yang tertutup dan sulit bercerita, apa yang dilakukan dan dilatih saat art therapy menjadi medium yang nyaman untuk bisa mengeluarkan apa yang terpendam," kata Nisa, sapaan akrabnya.

Sesi terapi melalui tatap muka tentunya lebih efektif karena tidak terdapat distraksi dari sekitar, dan lebih privat. Tetapi meskipun lebih banyak melakukan konseling online, Nisa merasa saat itu ia lebih lepas berbicara kepada terapis. "Jika tatap muka ada sedikit penyesuaian untuk bisa lebih lepas," ungkapnya.

Seni dan hobi baru yang dapat dilakukan selama pandemi telah terbukti dapat mengurangi stres. Para ahli pun menganjurkan hal ini banyak dilakukan agar dapat mengatasi masalah psikologis. "Carilah hal-hal yang baru, tetapi harus menurunkan ekspektasi agar pada akhirnya bisa menyesuaikan diri," kata  Psikolog Ajeng Raviando.

Ajeng menyarankan agar keluarga menciptakan rutinitas yang sehat. Beberapa di antaranya adalah mengupayakan 15 menit terkena sinar matahari, berolahraga bersama dan harus sering tertawa. Selain itu, berjalan-jalan atau refreshing ke tempat sepi, agar tidak terus menerus di rumah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement