REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islandia merupakan salah satu negara pertama yang kembali membuka diri untuk turis luar negeri di masa pandemi Covid-19. Namun, kebijakan Islandia soal tes Covid-19 dan karantina pada turis luar negeri mendulang sederet pertanyaan.
Per 10 Desember, Islandia memperbolehkan turis luar negeri yang datang berkunjung untuk tidak melakukan tes Covid-19 dan karantina. Ketentuan ini hanya berlaku untuk turis yang memiliki riwayat pernah terkena Covid-19 dan telah pulih.
Islandia mulai menerima kembali turis luar negeri sejak pertengahan Juni lalu. Saat itu, semua orang yang tiba di Islandia harus menjalani tes Covid-19 terlebih dahulu. Pengunjung yang dinyatakan negatif tidak perlu menjalani karantina. Sebaliknya, pengunjung yang dinyatakan positif perlu menjalani karantina selama 14 hari.
Namun, setelah gelombang kedua pandemi Covid-19 terjadi pada musim panas, Islandia kembali memperketat aturan untuk pengunjung atau turis dari luar negeri. Ada dua opsi yang bisa dipilih oleh pengunjung.
Opsi pertama adalah langsung menjalani karantina selama 14 hari. Opsi kedua adalah menjalani tes Covid-19, lalu karantina selama lima hari, kemudian kembali menjalani tes Covid-19.
Aturan yang berlaku saat ini akan segera digantikan dengan aturan baru pada 10 Desember. Per 10 Desember, siapa pun yang memiliki bukti berupa dokumen bahwa dia pernah terkena dan berhasil sembuh dari Covid-19 bisa melewatkan aturan tes dan karantina.
"Otoritas layanan kesehatan telah menyatakan bahwa orang-orang yang pernah terkena virus (SARS-CoV-2) dan sembuh tidak berisiko untuk menyebarkan (Covid-19) lebih jauh," tulis laporan dalam Iceland Review, seperti dilansir Insider.
Akan tetapi, tak semua ahli sependapat dengan aturan baru ini. Para ahli setuju bahwa reinfeksi jarang ditemui pada kasus Covid-19. Selain itu, sebagian besar survivor Covid-19 juga memiliki semacam imunitas. Akan tetapi, belum diketahui berapa lama imunitas ini akan bertahan.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS juga telah menyatakan bahwa peneliti belum mengetahui apakah keberadaan antibodi menunjukkan bahwa penyintas Covid-19 kebal terhadap SARS-CoV-2 di kemudian hari.
"Tanpa data meyakinkan mengenai risiko reinfeksi, Islandia seharusnya tidak mengandalkan riwayat infeksi sebelumnya untuk memberikan kekebalan," jelas associate dean untuk pendidikan dari NYU School of Global Public Health Dr Danielle C Ompad.
Profesor di bidang penyakit menular dari Vanderbilt University School of Medicine Dr William Schaffner juga menyoroti hal yang sama. Selain itu, Dr Schaffner juga mengatakan tes yang diciptakan untuk mengukur imunitas pun sesuatu yang baru. Masih ada kemungkinan abhwa alat tes ini tidak sepenuhnya akurat.
"Kita bisa mengukur fenomena imun tertentu, tetapi apakah itu berkaitan secara langsung dengan proteksi belum diketahui," ungkap Dr Schaffner.
Perlu diketahui pula bahwa saat ini Islandia masih bergelut dengan gelombang ketiga pandemi Covid-19, meski jumlah kasus tampak menurun. Saat ini, bar dan tempat hiburan malam masih ditutup dan restoran hanya diperbolehkan beroperasi hingga jam 21.00 malam waktu setempat. Penduduk juga diharuskan menaati protokol kesehatan saat beraktivitas.