REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan New York Times pada bulan Oktober menyebut kasus infeksi ulang tak sampai lima dari 38 juta kasus positif Covid-19. Mahasiswi berusia 21 tahun, Risha Malhotra, menjadi salah satu yang mengalami kejadian yang sangat jarang itu.
Setelah mengalahkan kanker tiroid pada 2019, Malhotra kena Covid-19 dua kali dengan jarak delapan bulan. Malhotra merupakan seorang mahasiswi senior di University of Wisconsin Madison. Kepada majalah People, dikutip pada Sabtu (28/11), dia menyebut tidak yakin di mana dia pertama kali tertular penyakit akibat virus corona tipe baru, SARS-CoV-2.
Malhotra menyadari gejala Covid-19 saat berada di suatu tempat di London, tempat dia belajar di luar negeri. Dia pun tiba-tiba dipulangkan ke Long Island, New York pada pekan kedua 13 Maret.
Setelah mendarat, Malhotra mulai mengalami nyeri dada, yang terus memburuk sepanjang malam. Memiliki riwayat pembekuan darah di kaki, dia pun memeriksakan diri ke Rumah Sakit Syosset.
Saat itu, dia melakukan CT scan paru. Hasilnya, paru-parunya menunjukkan infeksi yang tampak mirip dengan yang terlihat pada pasien Covid-19.
"Saya lalu menjalani tes Covid-19," tutur Malhotra.
Saat itu, Malhotra mulai mendengar para perawat dan beberapa dokter berbisik di belakangnya. Mereka bertanya-tanya apakah Malhotra menjadi kasus pertama Covid-19 yang mereka tangani dan bertanya-tanya apa yang seharusnya mereka lakukan.
Dari situ, pada Maret itu, Malhotra menyadari bahwa sama sekali belum ada tenaga kesehatan yang mengetahui bagaimana penanganan Covid-19. Hasil tes Covid-19 Malhotra keluar setelah 13 hari dan dia dinyatakan positif.
"Ini bukan pertama kalinya saya menjalani pemeriksaan medis yang menakutkan atau baru," katanya.
Ketika terkonfirmasi Covid-19, Malhotra diketahui sudah mengidap virus selama hampir dua pekan. Gejalanya tidak berkembang setelah nyeri dada. Akan tetapi, pada hari ke-16, dia terbangun dan menemukan kelenjar getah beningnya membengkak dua kali lipat. Dia terkena infeksi bakteri.
Malhotra diresepkan antibiotik Z-Pak oleh dokternya. Kesehatannya sempat menurun pada hari ke-18. Namun, dia akhirnya merasa bebas dari gejala meskipun dia masih lambat untuk mengerjakan sesuatu.
"Saya seorang atlet yang aktif dan saya suka berlari. Tetapi setiap kali saya mencoba berlari, bahkan di bulan April, saya masih terus merasakan nyeri dada," katanya.
Suatu hari, saat berlari, Malhotra mencoba mengecek detak jantungnya yang terekam dalam jam tangan Apple. Dia terhenyak ketika dia mengetahui detak jantungnya sangat cepat, yakni 200 detak per menit.
Mengetahui hal itu, Malhotra pun berkunjung ke seorang ahli jantung pada Mei lalu. Menurut pemindaian, mereka menemukan sisa-sisa infeksi Covid-19 yang sama dengan yang dia alami di paru-parunya pada Maret lalu, meskipun dia hasil tesnya negatif.
Menjelang musim panas, Malhotra merasa lebih baik. Dia menjalani tes antibodi pada 12 Agustus sebelum kembali ke sekolah di Madison akhir bulan itu. Saat itu, dia diberi tahu bahwa antibodinya mencapai 2,5. Angkanya hampir dua kali lipat standar baik menurut laboratorium.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, antibodi merupakan protein yang membantu melawan infeksi. Antibodi dapat memberikan perlindungan terhadap penularan virus. Namun demikian, masih belum jelas seberapa banyak perlindungan yang ditawarkan dan berapa lama mereka bertahan.
Ahli imunologi di Icahn School of Medicine di Mount Sinai, Florian Krammer, mengatakan, ada beberapa orang yang tidak mengembangkan respons imun yang baik terhadap patogen tertentu. Mereka juga masih belum yakin apa yang menyebabkan hal itu. Namun, biasanya hal itu jarang terjadi.
Pada bulan September, kasus di Madison meningkat tajam, dan Malhotra serta teman-temannya tinggal di rumah sebanyak mungkin. Dia menjalani tes Covid-19 empat kali pada bulan September higga Oktober sebagai tindakan pencegahan.
Hasil tes Covid-19 Malhotra selalu negatif. Tapi kemudian pada November kasus mulai melonjak sekali lagi di dalam dan sekitar kampus.
Positif Covid-19 lagi
Pada 8 November, Malhotra menyambut seorang teman di apartemennya untuk makan malam. Keesokan harinya, teman sekamarnya itu dinyatakan positif Covid-19.
Dalam dua hari, Malhotra mengalami flu yang parah yang awalnya dia yakini sebagai infeksi sinus. Tetapi, tes Covid-19 pada 13 November mengonfirmasi yang terburuk di mana dia sekali lagi dinyatakan positif terkena virus corona.
"Saya berlari ke kamar saya, mengunci pintu, dan menelepon ibu saya, seperti, 'Bagaimana ini bisa terjadi lagi? Kemudian dokter saya menelepon saya dan berkata, 'Bagaimana Anda dites positif dua kali? Ini gila.'," kata dia.
Kali kedua, gejala yang dialami Malhotra lebih ringan. Ia mengalami sedikit nyeri dada, kelelahan yang lebih intens, dan sakit kepala yang parah dan terus-menerus, di samping masalah sinusnya. Dia juga kehilangan indra penciuman dan perasa.
"Saya merasa ada begitu banyak faktor pada virus ini yang tidak diketahui orang, tetapi saya terkena dua kali dan menunjukkan gejala di kedua waktu itu sangat mengejutkan. Saya pikir hal paling menakutkan untuk diambil dari ini adalah kita tidak tahu apakah ini akan memiliki efek jangka panjang pada tubuh kita,” kata Malhotra.
Dengan apa yang terjadi pada dirinya itu, Malhotra lalu berpikir akan menjadi lebih berhati-hati dan jauh serta sadar secara sosial seperti saat ini. Paling tidak, sampai memiliki vaksin, dan sampai dunia dapat mengendalikan pandemi.
Malhotra juga memperingatkan bahwa setiap orang harus menanggapi virus ini dengan serius. Tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk orang lain juga.
“Sangat menyenangkan bahwa beberapa orang sembuh atau tanpa gejala. Tetapi hanya karena Anda baik-baik saja, tidak berarti orang lain akan baik-baik saja. Anda tidak tahu siapa yang Anda pengaruhi,” kata dia.