REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi seakan menjadi hantaman besar bagi banyak sektor. Industri fashion pun terkena dampak.
Sejumlah desainer dalam negeri pun tak mengelak bahwa pandemi cukup mengejutkan mereka dan menuntut untuk segera beradaptasi dengan tantangan-tantangan baru.
Michelle Tjokrosaputro dari Bateeq mengungkapkan, tantangan terbesarnya di awal pandemi adalah kesulitan dalam mobilitas dari Jakarta ke pusat Bateeq di Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah.
"Karena kita headquarter-nya ada di Sukoharjo, Solo, pandemi ini jadi terbatas buat mondar-mandir Jakarta-Solo. Untuk pengiriman juga kesulitan di awal," kata Michelle dalam jumpa pers virtual, Senin (23/11).
Lebih lanjut, ditambah dengan desainer yang semuanya berada di Jakarta dan pemberlakuan PSBB, juga membatasinya bekerja dari kantor, sehingga koordinasi menjadi lebih menantang.
Sementara itu, duo desainer dari Cotton Ink, Ria Sarwono dan Carline Darjanto, mengatakan pihaknya sempat khawatir karena tidak bisa beraktivitas di luar. Namun, mereka merasa bahwa peran teknologi bisa membantu penjualan produk, tanpa harus ada kontak fisik.
"Kita beruntung karena kita hidup di zaman sekarang, karena didukung sama teknologi dan platform yang macam-macam. Hal ini juga membuat masyarakat Indonesia semakin aware sama local brand," kata Carline.
Menanggapi hal tersebut, desainer kondang Rinaldy Yunardi menambahkan, pandemi juga membuat desainer untuk merefleksikan diri dan karya-karyanya sebelumnya.
"Awalnya mandek karena kesedihan. Dengan diam di rumah, saya banyak mempelajari diri sendiri dan karya yang lalu. Saya juga ingin mengembangkan brand saya agar bisa menjangkau banyak orang lebih luas lagi," kata Rinaldy.