REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden produksi film Disney, Sean Bailey, membahas kontroversi pembuatan ulang live-action Mulan dalam sebuah surat kepada seorang politisi Inggris pekan ini. Dalam surat yang diunggah anggota parlemen, Duncan Smith secara daring, Bailey membela pilihan memfilmkan bagian Mulan di daerah China yang menjadi lokasi pelanggaran hak asasi manusia.
Setelah/Mulan memulai debutnya di Disney+ pada bulan lalu, kontroversi muncul ketika penonton melihat kredit akhir termasuk ucapan terima kasih kepada beberapa entitas pemerintah di Xinjiang, yakni sebuah wilayah di barat laut Cina. Wilayah itu menjadi tempat yang disebut para ahli sebagai "genosida budaya" karena pemerintah Cina menahan dan menyiksa Muslim Uighur di kamp pendidikan ulang massal.
Beberapa entitas dalam kredit film Mulan dikaitkan langsung dengan kampanye itu, termasuk Biro Keamanan Publik Turpan, yang diberi sanksi Departemen Perdagangan AS pada tahun lalu. Berita tersebut menimbulkan pertanyaan dari anggota parlemen AS dan pengamat lainnya tentang sejauh mana Disney bekerja sama dengan pemerintah Cina.
Duncan Smith, seorang politisi terkemuka dari Partai Konservatif Inggris dan salah satu ketua Aliansi Antar Parlemen Inggris untuk Tiongkok, mengirim surat kepada Bailey untuk menanyakan tentang film tersebut. Dalam jawabannya yang dikutip entertainmentweekly, Senin (12/10), Bailey mencatat bahwa rekaman yang dibuat di Cina itu berupa bidikan lanskap yang terdiri dari 78 detik dari film berdurasi 115 menit. Prosesnya diambil selama periode empat hari yang singkat, dibandingkan pengambilan 143 hari pembuatan film di Selandia Baru.
“Meskipun Mulan difilmkan hampir seluruhnya di Selandia Baru, tapi dengan alasan menggambarkan geografi dan lanskap Tiongkok yang unik untuk drama periode ini, para produser memilih merekam beberapa pemandangan di 20 lokasi di seluruh negeri, termasuk Gurun Kumtag di Provinsi Xinjiang, rumah bagi lorong penting di sepanjang Jalur Sutra yang bersejarah,” tulis Bailey.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa keputusan membuat film di masing-masing lokasi itu diputuskan oleh produser film demi keasliannya. Dengan itu, pembuatan film sama sekali tidak ditentukan atau dipengaruhi pejabat negara bagian atau lokal Cina. Ia menambahkan bahwa pihak studio diharuskan bekerja sama dengan pemerintah untuk membuat film di Cina.
"Ada peraturan yang harus diikuti oleh semua perusahaan produksi film asing yang ingin beroperasi di Cina. Perusahaan-perusahaan ini tidak boleh beroperasi secara mandiri dan harus bermitra dengan perusahaan produksi Cina yang bertanggung jawab untuk mengamankan semua izin film,” kata Bailey.
Dia menjelaskan, ucapan terima kasih dalam kredit tersebut hanyalah praktik industri standar, yakni perusahaan produksi memberikan daftar entitas untuk berterima kasih atas pemberian izin film. Sebelumnya, CFO Disney, Christine M McCarthy, mengatakan bahwa kredit Mulan menimbulkan banyak masalah bagi perusahaan.
Dalam suratnya, Bailey juga mencatat bahwa proses untuk mendapatkan izin syuting di Cina, dimulai pada 2017. Saat itu, Inggris maupun pemerintah AS tidak mengeluarkan penasehat risiko untuk bisnis atau membuat keputusan kebijakan yang relevan khusus untuk wilayah tersebut.
Namun saat Mulan mulai syuting pada Agustus 2018, laporan kamp-kamp di Xinjiang dan tindakan Cina terhadap Muslim tersebar luas di media. Dalam tweet-nya yang mengunggah surat itu, Duncan Smith menyatakan bahwa Disney tidak ingin menyinggung perasaan Cina, dan telah menyerah pada tuntutan Cina dan tidak akan menentang mereka.
"Kebijakan perusahaan Disney tampaknya tidak peduli dengan masalah hak asasi manusia yang mempengaruhi #Uighur. Tampaknya, hak asasi manusia berada di urutan kedua setelah kebijakan perusahaan untuk tidak mengecewakan Cina,” tulis Smith.