Selasa 22 Sep 2020 17:05 WIB

Eksploitasi Anak Demi Konten Media Sosial, Awas Dipenjara!

Psikolog mengingatkan agar pembuat konten memerhatikan perlindungan anak.

Rep: Mabruroh, Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Youtube (Ilustrasi). Sejumlah Youtuber tampak sering mengerjai anak untuk konten videonya.
Foto: Flickr
Youtube (Ilustrasi). Sejumlah Youtuber tampak sering mengerjai anak untuk konten videonya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekan lalu (16/9), kepolisian Mesir mengamankan pasangan suami istri Youtuber, Ahmad Hassan dan Zeinab. Mereka ditangkap atas tuduhan eksploitasi anak sebagai bahan lelucon atau prank di akun Youtube mereka yang memiliki enam juta pengikut.

Kedua orang tua muda itu dituduh mengeksploitasi anak demi keuntungan finansial dan mengambil untung dari trauma buah hatinya yang baru berusia satu tahun. Video yang memicu amarah penonton ialah prank yang memperlihatkan reaksi putri mereka melihat wajah hitam ibunya dan anak itu menangis sementara orang tuanya tertawa.

Baca Juga

Sebelumnya, Hassan dan Zeinab juga membuat video yang menunjukkan sang ibu berpura-pura tidak responsif sementara putrinya menangis minta perhatian. Egypt Independent melaporkan, ada aduan yang diajukan ke Dewan Nasional untuk Anak dan Ibu (NCCM) yang kemudian ditindaklanjuti dengan laporan ke Jaksa Penuntut Umum.

Direktur Umum Saluran Bantuan Anak NCCM, Sabri Osman, mengatakan, video-video tersebut menampilkan perilaku sembrono orang tua. Ia memandang laporan tersebut serius.

"Ini merupakan pelecehan anak yang bisa melibatkan hukuman penjara seumur hidup dan denda 31.722 dolar AS (Rp 470 juta)," ujar Osman dilansir dari Middle East Monitor, Sabtu (19/9).

Psikolog anak Ine Indriani mendukung tindakan hukum tersebut. Ia menyebut, tindakan Hassan dan Zeinab tidaklah benar.

Bagaimana dengan di Indonesia? Ine mencermati, video prank yang mengeksploitasi ekspresi anak juga banyak.

Menurut Ine, pelaku prank terhadap anak pemahamannya kurang mengenai perlindungan anak. Ia menduga, pembuat konten hanya mengutamakan rating yang tinggi dan keuntungan finansial serta ketenaran.

"Secara eksplisit belum tentu, tapi kenyataannya itu ada,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (21/9).

Ine mendorong pemerintah agar memerhatikan konten Youtube yang berbau ekspliotasi anak dengan gaya prank. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dinilainya bisa berperan.

“Di Indonesia, saking banyaknya masalah, sampai tidak keurus. Kasihan juga kan,” ujarnya.

Selagi pemerintah belum bisa memberi perhatian pada masalah prank anak ini, Ine menyarankan agar Youtuber atau pembuat konten media sosial untuk berhenti membuat sesuatu yang dapat berdampak buruk pada anak dan lingkungan. Orang terkenal, menurut Ine, sebaiknya menyiarkan sesuatu yang baik.

Ine mengatakan, prank itu pada dasarnya mengerjai seseorang. Namun, terkadang dilakukan berlebihan demi konten media sosial. Ketika yang dikerjai adalah anaknya sendiri, bisa saja hal itu adalah setting-an pelaku yang merupakan orang tua anak yang menjadi korban prank.

"Tapi sayangnya, ada prank-prank yang berlebihan dan membahayakan, ada prank yang sebenarnya tidak bisa diterima dan itu sangat menyebalkan. Sebenarnya itu tidak lucu,” jelasnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (21/9).

Menurut Ine, sebelum melakukan prank, sebaiknya pembuat konten berhati-hati. Bukan hanya prank pada anak sendiri, tapi juga pada orang lain, misalnya sesama orang dewasa seperti yang dilakukan Youtuber Ferdian Paleka beberapa waktu lalu.

"Bahkan, kalau orangnya tidak suka, tidak sesuai kondisi, itu bisa mendatangkan masalah," tuturnya.

Tidak empati pada orang lain saat mengerjai orang tidak dapat dibenarkan. Ine pun mengingatkan agar bercanda pun kadarnya tidak berlebihan.

Ine mengungkapkan sebenarnya dari dulu video prank sudah ada, tapi sekarang berlanjut dengan jangkauan pemirsa yang lebih luas. Tayangan Funniest Home Video, contohnya, masih menimbang batasan kepatutan sesuai norma setempat dalam mengerjai orang.

Andaikan itu dijiplak di Indonesia, bisa jadi respons orang akan berbeda. Orang yang dikerjai bisa curiga atau meledak amarahnya.

“Karena Indonesia kriminlitas tinggi, mengerjai itu sesuatu yang tidak lucu walaupun dengan teman sendiri. Seperti prank Ferdian Paleka, dilakukan dengan orang yang tidak dikenal, sedangkan kita dalam kondisi ekonomi tidak bagus, di mana orang dikasih makanan happy, itu enggak sesuai prank-nya dengan kondisi saat ini,” paparnya.

Ine menyerukan agar ketika membuat ide cerita video prank, pembuat konten jangan hanya memikirkan uang atau rating tinggi. Pikirkan juga apakah prank yang dilakukan manusiawi atau tidak.

Ine mengajak pembuat konten memosisikan diri sebagai korban prank. Andaikan mendapatkan prank seperti itu, apakah kita akan tertawa, senang, atau sakit hati. Lalu, pikirkan apakah prank yang kita lakukan membahayakan atau tidak. Pikirkan pula apakah prank yang kita lakukan ada rasa empati atau tidak.

“Itu yang perlu dipertimbangkan, tidak hanya sekedar konten, tidak hanya sekedar mencari popularitas dan rating, mungkin juga dapat uang dari situ,” tegasnya.

Menurut Ine, sepertinya ada beberapa pembuat konten lelucon yang tidak sensitif melihat hal-hal yang perlu dipertimbangkan tersebut sebelum mengunggah video prank.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement