REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- China pernah menyarakan tidak menggunakan hydroxychloroquine dalam perawatan pasien infeksi virus corona. Hydroxychloroquine merupakan obat malaria yang disebut-sebut secara kontroversial oleh Presiden AS Donald Trump sebagai obat ajaib untuk Covid-19.
Sebagai gantinya, China merekomendasikan penggunaan obat malaria serupa yang disebut chloroquine (klorokuin). Rekomendasi itu adalah bagian dari pedoman pengobatan Covid-19 baru yang dirilis Rabu (19/8) serta diperbarui untuk pertama kalinya sejak 3 Maret lalu.
"Beberapa obat mungkin menunjukkan tingkat kemanjuran tertentu untuk pengobatan dalam studi pengamatan klinis, tetapi tidak ada obat antivirus yang efektif yang dikonfirmasi oleh uji klinis tersamar ganda, terkontrol plasebo,” kata Komisi Kesehatan Nasional dalam pedoman diagnosis dan pengobatan versi delapan.
Dilansir laman South China Morning Post pada Kamis (20/8), penggunaan hydroxychloroquine atau kombinasi penggunaannya dengan azitromisin itu tidak disarankan. Namun, pendoman yang sama mengatakan bahwa klorokuin dapat terus digunakan.
Obat antivirus lain yang direkomendasikan, termasuk interferon dan arbidol. Sementara itu, ribavirin harus digunakan bersama dengan lopinavir atau ritonavir.
Remdesivir, antivirus yang dikembangkan perusahaan farmasi Amerika, Gilead Sciences dan disetujui oleh Amerika Serikat, Eropa, dan Hong Kong untuk mengobati Covid-19, tidak ada dalam daftar terbaru obat yang direkomendasikan. Menurut sebuh penelitian yang diterbitkan di The Lancet pada April, peneliti China melakukan uji coba terkontrol tersamar ganda dari remdesivir, tetapi tidak menemukan manfaat dari obat percobaan itu.
Para peneliti menambahkan bahwa studi tersebut dibatasi oleh ukuran sampel yang lebih kecil dari target. Sebuah studi terpisah yang dipimpin pemerintah AS mengatakan obat tersebut dapat mempersingkat waktu pemulihan pasien.
Steroid glukokortikoid tetap ada dalam daftar, tetapi tidak ada referensi khusus untuk deksametason, yakni glukokortikoid sintesis yang mengurangi kematian di antara pasien parah yang berjumlah sepertiga dalam studi terkontrol acak skala besar oleh Oxford University.
China adalah negara pertama yang merekomendasikan penggunaan klorokuin untuk mengobati pasien Covid-19, dengan ilmuan ahli pernapasan top Zhong Nanshan mendukung kuat rekomendasi itu. Tim Zhong menerbitkan makalah yang ditinjau sejawat di National Science Review pada Mei mengatakan bahwa dalam penelitian terhadap 197 pasien menunjukkan obat malaria tampaknya memiliki beberapa manfaat pengobatan.
Namun, hasilnya dibandingkan dengan data riwayat pasien lain, bukannya kelompok acak yang diberi plasebo, standar emas untuk uji klinis. Pedoman pengobatan nasional sebelumnya tidak menyebutkan hydroxychloroquine, yang secara luas dipandang sebagai turunan klorokuin.
Trump menyebut obat itu sebagai pengubah permainan mengobati Covid-19 dan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pernah memberikan persetujuan bersyarat untuk penggunaannya. Namun, FDA mencabut otorisasi penggunaan daruratnya pada Juni lalu, setelah beberapa uji coba terkontrol secara acak menunjukkan obat itu tidak memiliki manfaat.
Pada Juni lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghentikan uji coba pada pengobatan hydroxychloroquine dan lopinavir/ritonavir. Kepala Institut Nasional AS untuk Alergi dan Penyakit Menular, Anthony Fauci mengatakan bukti ilmiah menunjukkan bahwa hydroxychloroquine tidak efektif dalam mengobati Covid-19.
Seorang ahli pengobatan pernapasan Chinese University, Profesor David Hui Shu-cheong mengatakan bahwa klorokuin atau hidroksiklorokuin serupa dan pedoman baru tersebut bertentangan. Dia mengatakan, kedua obat itu sama.
Tiga organisasi telah menghentikan penggunaan hydroxychloroquine, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia, Institut Kesehatan Nasional AS, dan Uji Coba Pemulihan Inggris, karena uji coba menunjukkan tidak ada manfaat.
"China tidak mengikuti literatur Barat," ujar Hui.
Menurut Hui, sangat sedikit negara yang masih menggunakan klorokuin atau hidroksiklorokuin untuk mengobati Covid-19. Dia juga terkejut bahwa remdesivir tidak ada dalam daftar karena berada di urutan teratas daftar pengobatan antivirus di sebagian besar negara dan kota.
Sementara itu, pedoman terbaru mengonfirmasi bahwa penularan terjadi selama masa inkubasi virus corona serta dari pencemaran lingkungan. Versi sebelumnya mengatakan, pasien tanpa gejala mungkin menjadi sumber penularan, meskipun China bersikeras pada hari-hari awal wabah di kota Wuhan di China tengah bahwa penularan tanpa gejala jarang terjadi.