REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan, film khusus untuk anak-anak masih sedikit. Demikian juga dengan sinema yang bisa ditonton oleh semua umur.
"Data LSF 2019 menunjukkan film untuk semua umur atau yang bisa ditonton oleh anak masih sedikit, hanya sekitar 10 hingga 14 persen saja," ujar Rommy dalam seminar "Upaya Strategi Pemajuan Film Anak Indonesia" di Jakarta, Kamis.
Rommy menjelaskan, insan perfilman lebih senang membuat film untuk kategori remaja dibandingkan untuk anak. Sebab, ada perspektif yang menyebutkan film untuk kategori anak tidak laku di pasaran.
"Secara bisnis, banyak yang tidak mau masuk. Pertimbangannya macam-macam, salah satunya ekonomi," tuturnya.
Rommy menyebut, insan perfilman menganggap bahwa film kategori remaja lebih menguntungkan dibandingkan film anak-anak, karena spektrumnya lebih luas, meskipun jumlah anak-anak lebih banyak. Di lain sisi, menurut Rommy, tidak banyak orang tua yang mau menemani anaknya menonton film untuk kategori anak-anak.
Ketua Komisi III LSF Naswardi mengatakan, jumlah film anak mengalami stagnasi dibandingkan film bergenre lain dengan muatan konten dewasa. Ia mencermati, film anak-anak pertumbuhannya hanya dua persen saja dari 2017 hingga 2018.
"Beda misalnya dengan film horor, yang satu dari empat judul film yang tayang di bioskop adalah genre horor dengan sisipan komedi, serta konten sensual," ucapnya.
Hal itu berbanding terbalik dengan kelompok penonton di usia anak dan remaja, 10-19 tahun yang cukup besar, yakni 33 persen. Padahal, justru anak-anak yang sering menonton televisi atau film cenderung meniru apa yang ditampilkan pada tayangan.
"Hal ini bisa menjadi masalah bila tayangan yang ditonton anak-anak tidak sesuai dengan usia anak," kata Naswardi.
Ke depan, LSF mendorong agar film maupun konten untuk anak lebih banyak. Dengan begitu, anak memiliki pilihan dalam menonton tayangan.