Rabu 22 Jul 2020 09:00 WIB

Bisnis Kopi yang Memikat Kolonial Belanda

Wilayah Hindia Belanda yang memiliki geografi pegunungan aktif jadi perkebunan kopi

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Esthi Maharani
Tenaga petik memanen kopi Arabika di bukit Sekendhil, Afdeling Gebugan
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Tenaga petik memanen kopi Arabika di bukit Sekendhil, Afdeling Gebugan

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kopi bukan tanaman asli Indonesia. Dalam catatan sejarah, kopi pertama kali dikenalkan di Batavia sekitar awal abad 17. Pada periode Tanam Paksa (Cultuurstelsel), komoditas kopi merupakan salah satu primadona dalam perdagangan internasional. Seluruh wilayah Hindia Belanda yang memiliki geografi pegunungan aktif menjadi wilayah perkebunan kopi (Goor, 1986: 35).

"Harga tren yang bagus di Indonesia menyebabkan pemerintah kolonial melakukan pengembangan tanaman kopi yang salah satunya di Pasuruan," kata Sejarawan dari Universitas Negeri Malang (UM), Reza Hudiyanto dalam kegiatan diskusi daring yang dilaksanakan terakota.id.

Titik awal pengembangan komoditas kopi di Pasuruan dimulai sekitar 1860 M. Kala itu, daerah pesisir dianggap penting dalam dunia perekonomian pada awal sampai pertengahan abad 19. Pengembangan kopi pun semakin melebar hingga ke wilayah Afdeling Malang. Di masa itu, Afdeling Malang masih menjadi bagian dari Keresidenan Pasuruan. Afdeling Malang membawahi daerah Ngantang, Penanggungan, Turen, Karanglo, Gondanglegi, Kepanjen, Pakis dan Kota Malang.

Reza dalam penelitiannya mengatakan, Afdeling Malang berada di antara Pegunungan Arjuna-Kawi dan Bromo-Semeru. Kondisi geografis ini sangat menguntungkan untuk mengembangkan lahan perkebunan kopi sebab, tanah tersebut mengandung banyak abu vulkanis dan sumber air.

Perkembangan kopi di Afdeling Malang semakin pesat saat memasuki 1870. Berdasarkan catatan sejarah, rel kereta api mulai bermunculan di beberapa daerah. Transportasi ini telah menghubungkan antardaerah penting seperti pelabuhan di Surabaya, Pasuruan dan lain-lain.

Di dalam proses perkembangan kopi di Afdeling Malang, masyarakat Pribumi hanya berperan sebagai petani. Mereka tidak diperkenankan menjualnya karena pemerintah telah menunjuk suatu kelompok yang mempunyai lisensi untuk mengirim dan menjual kopi ke sejumlah konsumen.

"Kalau orang Pribumi jual kopi dianggap penyelundup dan akan kena hukum. Kalau panen enggak bisa petani jual produk ke sembarang orang. Jalur kopi dikuasai dan distribusinya mendapatkan pengawasan ketat karena produk mahal," jelasnya.

Kolonial Verslag di 1890 menyebutkan Afdeling Malang sebagai wilayah penghasil kopi terbesar di Provinsi Jawa Timur. Penghasilannya mencapai 143.173 pikul pada 1887 sampai 1889. Sementara di Banyuwangi-Jember, Probolinggo dan Jombang masing-masing hanya menghasilkan 13.630 pikul, 22.098 pikul, dan 4.332 pikul.

Kesuksesan perkebunan kopi tidak hanya berefek baik pada ekonomi. Gelar bupati juga ikut mengalami perubahan semisal "tumenggung" menjadi "ario adipati" dan sebaliknya. Perubahan ini tidak sekedar bermakna nomenklatur tapi juga pendapatan daerah.

"Kalau PAD (Pendapatan Asli Daerah) rendah, (gelarnya) tumenggung. Kalau PAD-nya tinggi, (gelarnya) ario adipati, wilayah-wilayah yang relatif tinggi," katanya.

Rixvan Afgani dan Sarkawi B. Husain dalam penelitian "Manisnya Kopi di Era Liberal: Perkebunan Kopi Afdeling Malang, 1870-1930", mengatakan, perkembangan sektor perkebunan kopi telah menarik orang-orang dari daerah di luar Malang, baik dari Jawa Tengah maupun Madura. Menurut catatan pemerintah kolonial, jumlah penduduk di Afdeling Malang pada 1847 mencapai  87.990 jiwa. Selain migrasi, penambahan penduduk juga disebabkan angka kelahiran tinggi.

Komposisi penduduk di Afdeling Malang sudah mulai beragam pada 1847 dan 1872. Jumlah penduduk Bumiputera  telah mencapai angka di atas 80.000 jiwa. Angka ini termasuk tinggi apabila dibandingkan dengan kawasan lain di tahun sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement