Selasa 21 Jul 2020 19:27 WIB

Merawat Kenangan kepada Sapardi Djoko Damono

Sapardi satu dari sedikit sastrawan yang terus berkarya hingga usia senja.

Kompirus menggelar acara
Foto: Dok Kompirus
Kompirus menggelar acara "Membaca Sapardi" sebagai penghormatan kepada sastrawan besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono, yang wafat pada Ahad (19/7) pagi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah penyair membaca puisi untuk memberi penghormatan terakhir Sapardi, satu dari sedikit sastrawan yang terus berkarya hingga usia senja.

 

Pada suatu hari nanti

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait-bait sajak ini

Kau takkan kurelakan sendiri

 

Pada suatu hari nanti

Suaraku tak terdengar lagi

Tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

 

Pada suatu hari nanti

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau takkan letih-letihnya kucari

Bait-bait puisi karya Sapardi Djoko Domono itu mengalir syahdu di akun Instagram @puisidirumahsaja, Ahad (19/7)  malam.  Ahad pagi, Sapardi meninggal dunia di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.  Ahad sore, ia dimakamkan di Bogor.

Puisi berjudul Pada Suatu Hari Nanti itu dibacakan oleh Willy Ana, penyair asal Bengkulu, yang menjadi host acara “Membaca Sapardi” yang diadakan Komunitas Puisi di Rumah Saja (Kompirus) bersama Imaji Indonesian dan Infosastra. “Acara semacam penghormatan terakhir kami terhadap Bapak Sapardi Djoko Damono,” kata Willy, yang juga kordinator Kompirus dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (20/7).

Menurut Willy, acara ini terbilang mendadak. Begitu mendapat kabar Sapardi berpulang pada Ahad  pagi, salah seorang anggota tim kurator Puisi di Rumah Saja, Iwan Kurniawan, mengusulkan ada pembacaan puisi Sapardi. Kurator lainnya, Mustafa Ismail, menyapakati hal itu dan kemudian membuatkan flyer acara. “Selain baca puisi, juga ada juga refleksi tentang Sapardi oleh Iwan Kurniawan,” tutur pemilik akun Instagram @puisiwilly ini.

Iwan, yang dikenal sebagai esais itu, mengatakan Sapardi satu dari sedikit sastrawan yang terus berkarya hingga usia senja. Dia tak berhenti berkarya setelah Hujan Bulan Juni menjadi terkenal, malah belakangan ini dia menjelajah ke berbagai kemungkinan sastra. “Termasuk novel,” ujar Iwank, sapaan akrab jurnalis senior sebuah media nasional itu.  

Ia mengenal Sapardi sebagai orang yang ramah dan terbuka. Dia tak segan berbagi ilmu kepada siapa pun, termasuk anak-anak muda. “Dia juga tak sungkan untuk memuji karya sastra yang dinilainya baik maupun mengkritik karya yang dia nilai bermasalah.”

Selain menyampaikan refleksi dan testimoni, Iwan juga membaca salah satu puisi dalam buku Kolam karya Sapardi. Pembaca puisi lain seperti Alex R Nainggolan (Jakarta), Syaifuddin Gani (Sulawesi Tenggara), Alfaha Rizal (Jawa Barat) Edrida Pulungan (Sumatera Utara) dan lainnya.  Sebelum membaca puisi, mereka juga memberi testimoni berkenalan dengan karya-karya Sapardi maupun sosoknya. “Sapardi adalah sosok yang mengayomi,” ujar Edrida. 

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940.  Setelah menamatkan SMA di kota itu, ia hijrah ke Yogyakarta dan kuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada. Ia menulis sejak di bangku sekolah yang dimuat di berbagai majalah. Lulus kuliah di Yogya, ia sempat menjadi dosen di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang Cabang Madiun dan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. 

Mulai  1974, ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sampai ia pensiun.  Di Fakultas Sastra UI (kini Fakultas Ilmu Budaya), tempat ia mengabdi lalu menjadi guru besar (profesor), Sapardi pernah menjabat sebagai dekan pada 1995-1999. Terakhir,  Sapardi mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia tak pernah berhenti menulis, menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Sejumlah puisinya begitu populer, misalnya Hujan Bulan Juni, serta Aku Ingin yang kerap dikutip di undangan pernikahan.  

Ia telah melahirkan lebih 30 buku karya sastra, baik itu kumpulan puisi, cerpen, hingga novel. Selain itu, ada belasan buku-buku teks sastra, termasuk kumpulan esai. Bahkan, ada beberapa karyanya ia terbitkan sendiri secara indie. “Setahu saya ada sejumlah buku Pak Sapardi diterbitkannya sendiri lewat label Editum,” ujar Mustafa Ismail, yang pernah menjadi mahasiswa Sapardi di Pascasarjana IKJ. “Ia mengerjakan sendiri semua prosesnya.”

Kini Sapardi telah pergi. Dan para pencinta puisi-puisinya pun terus merawat kenangan. Dan penghormatan setinggi-tingginya, tentu. Selamat jalan Pak Sapardi. Puisimu abadi. 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement