REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis anak DR. Dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS, menyatakan stunting adalah kondisi anak yang memiliki tinggi di bawah rata-rata. Kondisi ini akan sulit diperbaiki sudah lewat masa golden period, yaitu di usia 3 hingga 6 tahun.
Penyebabnya adalah asupan gizinya yang buruk. “Itulah makanya kalau ada anak usia tiga tahun ke bawah gizinya buruk, dia harus segera dibawa ke dokter,” ucapnya.
Atas dasar itu ia meminta orang tua untuk memberikan protein tinggi kepada anak. Selain itu Susu Kental Manis (SKM) dilarang untuk diberikan kepada anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Pasalnya, kandungan yang ada dalam SKM itu sangat membahayakan tumbuh kembang anak yang mengkonsumsinya.
“SKM itu dilarang untuk anak 18 tahun ke bawah karena tidak da manfaat gizinya bagi anak itu. Alasannya karena komposisinya tidak baik untuk pertumbuhan anak dan bahayanya,” ujar dia dalam webinar bertajuk “Lindungi Anak Indonesia dari Stunting di Masa Pandemi Covid-19” yang digelar Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia (YAICI) dan Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat Aisyiyah.
Ia mengingatkan seluruh dokter anak dan Kemenkes sepakat bahwa SKM dengan alasan apapun tidak layak untuk dikonsumsi anak-anak. Itu seperti rokok lah.
Tubagus Rachmat mengatakan kadar gula dalam SKM itu sangat tinggi. Menurutnya, SKM tak baik bagi kecerdasan anak.“Hukumnya haram menggunakannya karena gulanya sangat tinggi,” ucapnya.
Jika balita mengalami masalah gizi dalam usia di bawah dua tahun, artinya perkembangan dan pertumbuhan otak dan sarafnya terganggu. Tingkat kecerdasannya sangat rendah. Semua anak yang mengalami stunting mempunyai IQ yang rendah. “Jadi bayangkan 30,8 persen atau sekitar 8 juta anak Indonesia tiap tahun menderita stunting dan akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak mungkin dapat lulus SD apalagi mampu bersaing dalam berbagai hal,” katanya.
Rachmat juga mengkritisi kurangnya infrastruktur regulasi di Kementerian Kesehatan dalam upaya penanganan masalah stunting secara menyeluruh. Menurutnya, meskipun Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019, namun implementasinya masih belum berjalan dengan baik.
“Aturan tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa penanganan stunting harus dilakukan melalui survailans dan penemuan kasus oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), dan selanjutnya bila ditemukan gangguan gizi baik gizi buruk, gizi kurang, kurus, alergi atau masalah medis lainnya, harus diberikan Pangan Khusus Medis khusus (PKMK),” jelas Rachmat.
PKMK merupakan minuman dengan kalori 100 dan 150. Nutrisinya berisi elementeri diet berupa asam amino, glukosa, asam lemak dan mikronutrien yang secara evidence base sangat cocok untuk anak-anak di bawah dua tahun yang mengalami gangguan gizi.
Rachmat Sentika menambahkan, seharusnya semua Puskesmas dan Rumah Sakit wajib menyediakan anggaran PKMK selain Anggaran PMT untuk menangani gangguan gizi yang akan berdampak pada stunting. ”Saran saya Menkes Terawan harus segera memimpin penanggulangan gangguan gizi dengan pemberian PKMK untuk anak gangguan gizi berumur 2 tahun atau 3 tahun ke bawah agar anak stunting tidak bertambah,” ucapnya.
“Selama ini apa yang dirancang dan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ternyata tidak efektif. Terlihat tidak ada sinergitas antara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) dalam penanganan stunting,” katanya.