Senin 25 May 2020 07:56 WIB

Berbagai Dampak WFH pada Psikis Manusia

WFH mampu menyebabkan pola jam kerja berubah drastis pada masyarakat.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Dwi Murdaningsih
Ibu saat bekerja di rumah/ilustrasi
Foto: straighterline.com
Ibu saat bekerja di rumah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Penerapan Work from Home (WFH) atau bekerja dari rumah menimbulkan berbagai dampak. Hal ini terutama pada kondisi psikologis masing-masing masyarakat.

Psikolog dari Universitas Brawijaya (UB), Ary Pratiwi, mengatakan, kondisi COVID-19 menyebabkan sejumlah masyarakat menerapkan sistem kerja dari rumah. Situasi ini ternyata dapat memunculkan tekanan baru pada orang tua dan anak-anak. "Anak-anak terutama dengan banyaknya tugas yang diberikan dari pihak sekolah," jelas Ary melalui pesan resmi kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Menurut Ary, selama ini anak acap mengerjakan tugas di sekolah. Namun semenjak WFH, mereka harus mengerjakan berbagai tugas sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Apalagi, mereka harus mengikuti pembelajaran daring sehingga menambah tingkat stress pada anak.

WFH mampu menyebabkan pola jam kerja berubah drastis pada masyarakat. Semula, mereka bekerja dimulai dari pagi sampai siang hari. Namun kini jadwal tersebut bisa berubah hingga malam bahkan tengah malam.

Ary berharap para orang tua tetap meluangkan waktu bermain terutama bersama keluarga. Cara ini dapat menciptakan hati yang gembira. Sebab, hati yang gembira itu obat di masa pandemi saat ini.

Di sisi lain, Pengamat Komunikasi UB, Maulina Pia Wulandari, menilai WFH justru dapat meningkatkan intensitas komunikasi antaranggota keluarga. Selama ini anggota keluarga biasanya hanya memiliki waktu di malam hari untuk berinteraksi. Namun saat ini, para anggota lebih banyak memiliki waktu untuk bertemu dan berkomunikasi.

"Sepasang suami istri yang biasanya bertemunya cuma pada malam hari, maka ketika ada penerapan WFH akan bertemu mulai pagi sampai paginya lagi hingga akhirnya bisa memperlihatkan sifat asli masing-masing," ucapnya.

Menurut Pia, meningkatnya intensitas komunikasi tidak selalu dibarengi dengan kualitasny. Hal ini tergantung dengan situasi psikologi masing-masing keluarga. Anggota keluarga yang mengalami Pemutus Hubungan Kerja (PHK) akan berpengaruh terhadap pola komunikasi.

Masyarakat harus memahami aturan saat berkomunikasi dengan siapapun termasuk keluarga. Terlebih pada hal-hal yang sifatnya sensitif seperti masalah ekonomi. "Boleh menyinggung tapi sedikit saja dan tidak sensitif membicarakan masalah uang," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement