REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 berpotensi mendatangkan malapetaka bagi kesehatan seksual dan reproduksi wanita di seluruh dunia. Ketidakamampuan masyarakat dalam mengakses kontrasepsi modern bisa menyebabkan 7 juta kehamilan yang tidak diinginkan.
Itu mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA). Studi itu memprediksi akan ada 47 juta wanita di 114 negara yang tidak lagi mampu mengakses kontrasepsi modern jika pandemi Covid-19 terus berlangsung selama enam bulan.
Para peneliti juga memperkirakan, akan ada 7 juta kehamilan yang tidak diinginkan dan 31 juta kasus kekerasan berbasis gender. Direktur Eksekutif UNFPA Dr Natalia Kanem mengatakan, studi ini memberi gambaran yang jelas bahwa perempuan dan anak perempuan sangat rawan menjadi korban kekerasan seksual selama pandemi.
“Kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan harus dilindungi dengan segala cara. Layanan harus dilanjutkan, bantuan harus disalurkan, dan yang rentan harus dilindungi dan didukung," kata Kanem seperti dilansir Independent, Selasa (28/4).
Para aktivis di seluruh dunia juga khawatir kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akan semakin melonjak selama pandemi. Karenanya, mereka mendesak pemerintah di berbagai negara untuk menunjukkan langkah kongkret dalam melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual selama pandemi.
Para peneliti juga memperingatkan potensi kekurangan kontrasepsi yang dipicu bermasalahnya rantai pasokan global. Masalah ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah.
Sebelumya, Kepolisian Inggris telah melaporkan peningkatan insiden KDRT yang secara langsung terkait dengan pandemi. Begitu pula di China, lembaga non-profit anti-KDRT dari China, Wan Fei, melaporkan bahwa Covid-19 telah memicu lonjakan signifikan dalam KDRT. Selama Februari, kantor polisi Cina mencatat adanya peningkatan kasus KDRT sebanyak 3 kali lipat dari tahun sebelumnya.