Ahad 26 Apr 2020 17:11 WIB

Penyair Chairil Anwar Romantis Sekaligus Pemberontak 

Sejumlah penyair mengenang Chairil Anwar dengan membaca puisi dan refleksi.

Sejumlah penyair dari berbagai daerah mengenang sastrawan  Chairil Anwar dengan membaca puisi dan refleksi dalam acara #puisidirumahsaja.
Foto: Dok Imajihouse
Sejumlah penyair dari berbagai daerah mengenang sastrawan Chairil Anwar dengan membaca puisi dan refleksi dalam acara #puisidirumahsaja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembatasan sosial (social distancing) dan pembatasan fisik (physical distancing) karena pandemi virus Corona tidak menghalangi sastrawan untuk mengenang penyair “Aku Sang Binatang Jalang”, yang lahir di Medan, 26 Juli 1922  dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949 itu. 

Sekitar dua puluh sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia membaca puisi untuk mengenang penyair Chairil Anwar, Sabtu (25/4) malam, pukul 20.30 hingga 23.00. Pembacaan puisi dilakukan di akun Instagram @puisidirumahsaja dalam pentas sastra #puisidirumahsaja 5. “Kami mengadakan pembacaan puisi mengenang Chairil lebih awal beberapa hari daripada hari meninggalnya karena jadwal acara #puisidirumahsaja pada akhir pekan,” kata Willy Ana, salah seorang penggagas acara dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Para penyair yang membaca puisi antara lain, Isbedy Setiawan, Din Saja, Alex R Nainggolan, Mahwi Air Tawar, Mustafa Ismail, Zulfaisal Putera, Sudiyanto, Iwan Kurniawan, Berthold Sinaulan, Tora Kundera, Muhammad Alfariezie, Kamillo Yulisukma, Aflaha Rizal, dan Wrekudara Antasena. “Ada pula refleksi tentang  Chairil Anwar yang disampaikan oleh sastrawan Aceh, Din Saja,” ujar Willy Ana yang juga menjadi host acara tersebut.

Din Saja, dalam refleksinya, mengatakan Chairil itu cerdas, pembaca yang tangguh, pemikir hebat. Di usia muda, dia  sudah mampu melahirkan puisi-puisi yang kuat. “Pemilihan kata puisinya sederhana tapi sarat makna, romantik tapi pemberontakan. Chairil sebenarnya pantas mendapat Nobel, hanya saja "nasib" tidak berpihak,” ujar Din.  

Para penyair yang membaca juga ikut memberi testimoni. Iwan Kurniawan pun mengatakan bahwa Chairil itu  sangat ketat dalam mempertimbangkan diksi-diksi dalam puisinya. Tidak ada ruang untuk menyunting kata-kata dalam puisi Chairil. “Kata-katanya sangat padat,” ujar wartawan sebuah media nasional ini. 

Adapun Tora Kundera, yang dikenal sebagai aktivis, mengatakan Chairil adalah sosok yang lengkap. Ia menulis puisi apa yang dia dijalani dalam kehidupannya. Ketika jatuh cinta, ia menulis puisi cinta. “Ketika ia terlibat dalam pergerakan dengan aktivis pejuang kemerdekaan, Chairil menulis puisi yang membangkitkan semangat berjuang,” ujar salah seorang penggagas Malam Sastra Margonda itu. 

Sebagian besar penyair membacakan puisi karya Chairil Anwar, meskipun ada beberapa yang membacakan puisi sendiri yang masih ada kaitannya dengan Chairil. Salah satu penyair,  Isbedy Stiawan ZS, antara lain, membaca puisi berjudul Hampa yang ditulis Chairil kepada Sri, berbunyi: Sepi di luar. Sepi menekan mendesak./ Lurus kaku pohonan. Tak bergerak/ Sampai ke puncak. Sepi memagut,/ Tak satu kuasa melepas-renggut/ Segala menanti. Menanti. Menanti. 

Pentas #puisidirumahsaja digagas penyair asal Aceh, Mustafa Ismail, dan penyair asal Bengkulu, Willy Ana. Ini dimaksudkan sebagai ruang untuk berkarya sekaligus menyegarkan suasana di tengah kejenuhan berada #dirumahsaja. Acara itu digelar tiap akhir pekan, dan kini telah memasuki pekan kelima, sebagian besar pada Sabtu malam.  Pembacaan puisi kali ini berbeda dengan sebelumnya, yang dilakukan hanya di Instagram @puisidirumahsaja. Selama ini, pembacaan puisi dilakukan di akun Instagram masing-masing penyair. Host hanya membuka dan menutup acara, adapun lalu lintas penampil dimoderasi lewat WhatsApp dan akun IG @infosastra dan @imajihouse.

“Kami mendapat banyak masukan bahwa itu merepotkan karena penonton harus pindah dari satu akun ke akun lain saat menonton. Belum lagi ada akun yang digembok sehingga penonton tidak bisa menonton,” ujar Willy Ana, yang juga penggagas Festival Sastra Bengkulu. 

Mereka lalu mencari cara agar pembacaan puisi terfokus. “Sempat pula kami melakukan simulasi menggunakan Zoom Meeting, namun sepertinya baca puisi tidak cocok di sana. Zoom lebih cocok untuk diskusi,”  kata Mustafa Ismail  menambahkan. Sebab di Zoom penonton harus diundang. “Sedangkan di Instagram siapa saja bisa menonton. Istilahnya orang yang lagi lewat di lini masa Instagram pun bisa mampir menonton,” ujarnya.

Maka itu, pembacaan puisi #dirumahsaja 5 dan seterusnya terfokus pada satu akun yakni @puisidirumahsaja. Host mengundang penyair yang mendapat giliran tampil, lalu penyair mengeklik tombol minta bergabung, setelah disetujui layar di Instagram akan terbagi dua, bagian atas host dan bagian bawah penyair yang tampil. Ketika penyair membaca puisi, host menghilang dari sorotan kamera. “Agar mirip seperti pembacaan puisi di panggung dan fokus penonton hanya ke satu orang yakni pembaca puisi,”  kata Willy Ana.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement