REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian masyarakat mungkin berpikir bahwa hasil yang didapatkan dari rapid test Covid-19 bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis. Padahal, rapid test yang saat ini sudah diterapkan di beberapa wilayah berfungsi sebagai upaya screening.
"(Rapid test) ini memang bukan untuk pemeriksaan diagnosis penentu," kata Sekretaris Tim Medis Covid-19 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr dr Anna Rozaliyani MBiomed SpP dalam webinar Kelas Online Center for Indonesia's Strategic Developments Initiatives (CISDI).
Anna mengatakan, opsi yang saat ini tersedia adalah rapid test berbasis deteksi antibodi dan deteksi antigen. Pemeriksaan rapid test yang dilakukan sekali ataupun ulangan sifatnya lebih ke arah screening.
"Itu sifatnya sebetulnya lebih ke arah screening, lebih ke ara uji penapis, (mengetahui) mana yang berisiko, mana yang tidak," kata Anna.
Anna mengatakan, bila pemeriksaan pertama rapid test menunjukkan hasil negatif, bukan berarti orang yang dites tersebut benar-benar negatif Covid-19. Bisa jadi saat rapid test pertama dilakukan, antibodinya belum terbentuk. Oleh karena itu, rapid test harus diulang dalam waktu 7-10 hari.
Sebaliknya, hasil pemeriksaan rapid test yang positif juga belum tentu menunjukkan bahwa orang yang dites tersebut benar-benar terkena Covid-19. Alasannya, antigen yang terdeteksi belum diketahui apakah ada reaksi silang dengan pan-coronavirus.
"Kita juga mesti tahu apakah antigen yang dideteksi itu memang sudah sangat spesifik atau ada reaksi silang dengan pan-corona(virus), jadi virus corona secara umum," jelas Anna.
Rapid test ini bisa menyaring orang-orang yang nantinya dinilai perlu untuk menjalani tes lebih lanjut. Untuk melakukan konfirmasi atau menegakkan diagnosis Covid-19, dibutuhkan pemeriksaan PCR.
Kombinasi tes Covid-19
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) dr Pandu Riono menyarankan pemerintah agar mengombinasikan berbagai tes Covid-19. Langkah itu diperlukan guna mencegah penyebaran virus corona tipe baru tersebut di masyarakat.
"Harus ditambah untuk tes virus, rapid test dan polymerase chain reaction (PCR). Jadi, orang terinfeksi itu ketahuan setelah dilakukan tes," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Menurut Pandu, apabila masyarakat sudah makin sedikit melakukan interaksi ataupun mobilisasi sosial, kombinasi tes tersebut tetap diperlukan dengan tujuan mengantisipasi penyebaran virus. Namun, menurut Pandu, rapid test atau tes cepat saja tidak cukup untuk mengetahui apakah seseorang positif atau tidak.