Kamis 19 Mar 2020 18:32 WIB

Dokter Senior: Wabah Covid-19 Jadi Pengalaman Hidup Terberat

Dokter senior menganggap pandemi global Covid-19 sebagai pengalaman terberatnya.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Dekan FKUI Prof dr Ari Fahrial Syam SpPD (tengah) menganggap, pengalaman menghadapi pandemi Covid-19 sebagai pengalaman terberatnya sebagai dokter.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Dekan FKUI Prof dr Ari Fahrial Syam SpPD (tengah) menganggap, pengalaman menghadapi pandemi Covid-19 sebagai pengalaman terberatnya sebagai dokter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cepatnya eskalasi penyebaran virus corona tipe baru dan penularan Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi dokter di Indonesia. Dokter senior pun merasakan beratnya kasus ini.

"Menjadi dokter saat pandemi global Covid-19 merupakan pengalaman hidup terberat saya sebagai dokter," ujar Prof dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Kamis (19/3).

Baca Juga

Infeksi Covid-19, menurut Ari, menular secara cepat dari satu orang ke orang lain. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini mengatakan, rendahnya sense of crisis di awal merebaknya Covid-19 telah membuat Indonesia abai dalam mengantisipasi pandemi global ini.

Ari mengatakan, dalam menghadapi pandemi global, semua akan mempunyai kebutuhan yang sama. Semua membutuhkan masker, alat pelindung diri, dokter dan perawat, serta obat dan vaksin.

"Dalam kondisi saat ini semua negara mempunyai permasalahan yang sama maka kalaupun obat dan vaksin ditemukan pada satu negara, pemenuhan utama akan diprioritaskan untuk negara dan bangsanya sendiri," ujar dokter RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta ini.

Ari mengatakan, wabah yang kini melanda Indonesia harus menjadi motivasi untuk memperjuangkan kemandirian bangsa. Hal itu tak boleh sebatas jargon yang diucapkan, tapi harus dilakukan dan diwujudkan di kemudian hari.

"Pandemi global Covid-19 ini memang luar biasa dan saya sebut ini hari-hari tersulit saya sebagai dokter," ujarnya.

Sejak kasus pertama positif Covid-19 terungkap, menurut Ari, semua orang tidak bisa bergerak dengan leluasa. Ia dan rekan-rekan tidak dapat berinteraksi langsung dan melakukan pertemuan atau rapat dalam satu ruang tertutup untuk koordinasi mengatasi masalah ini.

"Soalnya kami juga harus menerapkan social distancing, terlebih kami petugas kesehatan yang dapat tertular langsung dari pasien yang sedang dilayani, baik di poliklinik dan maupun di fasilitas rawat inap," jelas Ari.

Kemungkinan terburuk berupa penularan melalui kontak dengan pasien telah terprediksi oleh Ari. Ia menyadari, petugas kesehatan bisa menjadi korban.

"Kebetulan anak pertama dan kedua saya sebagai dokter dan istri saya sebagai dokter gigi. Jadi mereka sama seperti saya juga berisiko dengan pasien-pasien Covid-19 yang bisa saja datang tanpa gejala," ungkapnya.

Ari lantas mengajak masyarakat untuk terus waspada. Mungkin saat ini virus corona belum menghinggapi tubuh kita, tetapi bisa saja beberapa waktu ke depan virus ini menginfeksi dan menyerang paru-paru.

Hal yang membuat hati kecil Ari lebih ciut adalah ketika mendengar ada perawat yang meninggal karena Covid-19. Secara bertubi-tubi, kabar buruk itu menghampiri Ari.

"Lalu ada dokter yang meninggal dan juga ada dokter gigi yang meninggal karena Covid-19. Mereka sebagian besar tertular dari pasien-pasiennya," ungkap Ari.

Setiap waktu, menurut Ari, ada saja kabar bahwa rekan sejawatnya positif Covid-19. Sementara itu, teman lainnya harus melakukan isolasi mandiri karena pasien yang ditangani di awal pada akhirnya diketahui menderita Covid-19.

"Sekali lagi kondisi-kondisi ini memang membuat hati saya ciut," ujarnya.

Hati Ari bertambah gusar melihat rekan-rekannya bertugas di tengah keterbatasan masker, alat pelindung diri, dan hand sanitizer. Di lain sisi, dalam kondisi serbaterbatas, sebagai praktisi klinis ia tetap menerima pasien.

"Saya tetap melakukan endoskopi dan saya tetap merawat pasien," kata Ari.

Sebagai dokter senior, Ari merasa harus memberikan contoh kepada rekan-rekan dan junior atau peserta didiknya bahwa ia tetap berada di tengah-tengah pasien. Ia ingin memberi semangat kepada teman-teman sejawat dan juniornya untuk melakukan hal serupa.

"Tidak meninggalkan gelanggang walau nyawa taruhannya," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement