REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Di tengah merajalelanya virus corona, banyak orang mulai mengubah kebiasaannya dalam bersosialisasi. Menghindari jabat tangan menjadi salah satu anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mereka ikuti.
Masyarakat pun semakin kreatif untuk memikirkan cara lain untuk berjabat tangan. Tetapi, tak semua orang mengerti bahwa menghindari kontak fisik penting dilakukan.
Bagi yang sudah paham, tantangannya ialah menolak bersalaman, pelukan, atau cium pipi kanan-cium pipi kiri (cipika cipiki) dengan halus, dengan keren. Helaine Knapp, contohnya, beberapa hari ini tak lagi berbagi pelukan saat bertemu teman-temannya.
Pria berusia 33 tahun asal Amerika Serikat ini memilih untuk mengajak temannya saling menyenggolkan sikunya dengan bergaya sebagai pengganti pelukan di awal atau akhir perjumpaan.
"Ini adalah norma baru," kata Knapp, warga New York yang menjalankan usaha tempat kebugaran CityRow.
Selain senggol siku, ada pula salam kaki yang dikenal sebagai "Wuhan Shake". Meski begitu, menghindari jabat tangan atau pelukan bisa terasa canggung oleh sebagian orang, tetapi para ahli mengatakan, ada cara yang tepat untuk menghindari salam fisik di masa-masa sulit ini.
Di lain sisi, sebetulnya Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus tak merekomendasikan orang untuk salam siku. Soalnya, ketika salam siku, orang justru akan mendekat dengan orang lain sehingga memungkinkan penularan virus corona tipe baru penyebab Covid-19.
"Jika seseorang mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, baik secara sosial maupun dalam bisnis, Anda dapat dengan mudah mengatakan, "Saya tidak akan berjabat tangan demi kehati-hatian ekstra"," kata pakar etiket dari Beaumont Etiquette, Myka Meier, yang berbasis di New York City, dilansir New York Post, Sabtu (14/3).
Menurut Meier, sikap ekstra hati-hati justru pertanda bagus dalam bersosialisasi maupun bisnis. Itu menunjukkan betapa besarnya perhatian orang terhadap kesehatan dan kesejahteraan orang lain.
Meier juga tidak melakukan kontak fisik untuk saat ini. Dia mengatakan, itu harus dilihat sebagai tanda penghormatan, bukan penolakan.
Di lain sisi, Meier mencermati, ada potensi jebakan sosial juga dari orang yang menghindari jabat tangan. Oleh karena itu, mereka yang tak mau bersalaman harus memilah kata-katanya agar orang lain tak salah mengira.
"Saya akan menghindari ucapan seperti, "Saya tidak ingin menyebarkan kuman" yang menyiratkan kita sedang sakit atau mengatakan sesuatu yang menyiratkan merekalah yang sakit," kata Meier.
Meier juga mengingatkan agar masyarakat tak berlaku ofensif terhadap ras atau budaya seseorang. Penulis buku Modern Etiquette Made Easy ini menyerukan agar orang-orang tak memperlakukan sesama manusia secara berbeda.
Meier menyarankan dua alternatif keren untuk mengganti jabat erat. Pertama, ketika berjumpa orang yang ingin disapa, cobalah berhenti lalu kunci tangan di belakang badan kemudian mengangguklah dengan ramah.
Kedua, cobalah untuk menggenggam tangan di depan dada dengan luwes seraya memberikan sapaan hangat. Dia menunjukkan kedua alternatif itu di Instagram-nya.
Knapp mengatakan di studionya, tos tangan dan salam tinju selalu dilakukan setelah latihan yang melelahkan. Namun, sekarang para instruktur beralih ke tos tangan dari jauh atau tos tanpa terkena tangan satu sama lain. Dia berharap tradisi baru ini akan bertahan, termasuk ketika flu menjadi masalah kesehatan terbesar di masyarakat.
"Mungkin seseorang dengan flu akan merasa lebih nyaman dengan berkurangnya jabat tangan", kata Knapp.
Lagi pula, menurut Knapp, jauh lebih tidak sopan untuk membuat seseorang sakit daripada membuat etiket palsu. Ia menyarankan agar hal kecil yang berdampak besar ini menjadi pembicaraan di masyarakat.
"Semua orang mencari cara kecil untuk melindungi diri mereka sendiri. Kalau kita sudah mulai membicarakannya, nantinya tidak jadi aneh lagi," kata Knapp.