Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 tentang Perkawinan menyatakan bahwa sebuah perkawinan dianggap sah jika dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, di dalam bagian penjelasan umum dari undang-undang perkawinan tersebut dijelaskan bahwa pada prinsipnya pencatatan perkawinan itu sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti peristiwa kelahiran, kematian, dan lain sebagainya yang dinyatakan dalam surat keterangan atau suatu akta resmi.
Sebagai bentuk dari pencatatan perkawinan adalah diterbitkannya akta nikah sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 1 Angka 6 tentang Pencatatan Nikah. Dalam Permenag tersebut didefinisikan bahwa akta nikah adalah akta otentik tentang peristiwa pernikahan. Setelah peristiwa perkawinan dicatat, maka pasangan akan diberikan buku nikah. Buku nikah inilah yang kemudian disebut sebagai kutipan akta nikah.
Proses Pencatatan Perkawinan Berdasarkan Agama
Pendataan Pernikahan oleh Negara
Sesuai dengan UU Perkawinan Tahun 1974 No. 1 yang telah disebutkan di atas, maka di Indonesia ini ada beberapa peraturan yang berbeda bagi masing-masing pemeluk agama termasuk aturan mengenai pencatatan perkawinan.
- Warga Indonesia beragama Islam proses pencatatan pernikahan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
- Warga Indonesia yang non-muslim maka pencatatan perkawinan adalah dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
- Perkawinan campuran (WNA menikah dengan WNI) maka ada pernikahan juga wajib dilaporkan kepada pihak terkait untuk memperoleh pencatatan nikah secara hukum. Khusus untuk perkawinan campuran, hal ini diatur dalam Pasal 61 UU 1/1974 bahwa perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
Dengan mengetahui sekilas tentang pencatatan perkawinan di atas, maka untuk menjawab permasalahan yang di tulis pada judul artikel ini yaitu hal-hal yang diperlukan dalam mengurus akta nikah yang hilang atau rusak akibat banjir atau bencana alam lainnya, maka di sini kami akan memberikan jawaban yang sesuai dengan berbagai kondisi tentang pencatatan pernikahan yang ada di Indonesia.
Baca Juga: 12 Tips Finansial Untuk Pasangan Pengantin Baru
Penerbitan Kembali Kutipan Akta Perkawinan oleh Kantor Catatan Sipil (Non-Muslim)
Penerbitan Kembali Buku Nikah bagi Warga Non Muslim
Meskipun tidak ada aturan resmi yang dinyatakan dalam Undang-Undang tentang cara mengurus kutipan Akta Perkawinan yang hilang atau, minimal ini menjadi acuan pertama kali ketika ada masalah seperti hilangnya kutipan tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kembali kutipan Akta Perkawinan dapat diurus di Kantor Catatan Sipil dimana Kutipan Akta Perkawinan tersebut dibuat.
Untuk mengurus kembali atau mendapatkan kembali Kutipan Akta Perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang perlu anda persiapkan adalah beberapa berkas berikut ini:
- Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian setempat
- Fotokopi Akta Perkawinan (jika masih ada)
- Tanggal Pencatatan Perkawinan
- Tanggal Pemberkatan Perkawinan
- Fotokopi KTP
- Fotokopi Kartu Keluarga
- Fotokopi Akta Kelahiran
Untuk waktu pengurusan di Kantor Catatan Sipil kurang lebih memakan waktu 7 hari kerja. Tidak ada biaya administrasi yang diperlukan untuk hal ini atau gratis.
Baca Juga: Rayakan "Anniversary" Hemat bersama Pasangan dengan 5 Hadiah Ini
Penerbitan Kembali Buku Nikah bagi Warga Muslim
Penerbitan Kembali Buku Nikah bagi Warga Muslim
Bagi Anda yang beragama Islam, karena pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), maka yang berhak menerbitkan kembali Buku Nikah adalah KUA tempat di mana perkawinan tersebut dilangsungkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 35 Permenag 11/2007.
Yang perlu diketahui, pada dasarnya Akta Perkawinan tersebut dibuat rangkap dua, satu telah disimpan oleh Pegawai Pencatat dan satunya lagi disimpan di Panitera Pengadilan di wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Selain itu, sesuai dengan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suami dan istri masing-masing diberikan buku kutipan Akta Perkawinan.
Sampai di sini terkadang kita dibingungkan oleh istilah kutipan akta perkawinan dan buku nikah. Kami jelaskan sedikit saja, bahwa kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang sama. Hanya saja buku nikah lebih familiar di telinga kita dan buku nikah adalah istilah yang digunakan dalam Peraturan Menteri Agama.
Selanjutnya, kepada siapa kita mengajukan permohonan penerbitan kembali buku nikah? Kita mengenal adanya PPN atau singkatan dari Pegawai Pencatat Nikah. Untuk mengajukan permohonan yang bersangkutan bisa langsung mengunjungi PPN. Menurut Pasal 2 Ayat 2 Permenag No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah menyebutkan bahwa yang dimaksud Pegawai Pencatat Nikah adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA).
Dengan demikian, untuk mengajukan permohonan penerbitan kembali Kutipan Akta Perkawinan (buku nikah) dapat diajukan di KUA Kecamatan masing-masing daerah di mana tempat perkawinan berlangsung.
Tak perlu khawatir, pergantian buku nikah ini tanpa pungutan biaya apapun alias gratis. Adapun syarat yang harus dibawa saat ingin mendapatkan kembali pergantian buku nikah.
Syarat Pergantian Buku nikah yang Hilang:
- Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian
- KTP
- Pas foto berukuran 2x3 berlatar belakang biru, masing-masing pasangan siapkan 2 lembar foto
Syarat Pergantian Buku Nikah yang Rusak:
- Bawa buku nikah yang rusak
- KTP
- Pas foto ukuran 2x3 berlatar belakang biru, masing-masing pasangan siapkan 2 lembar foto
Jika Akta Nikah tidak Dapat Dibuktikan di KUA (Itsbat Nikah)
Entah karena faktor apapun, jikalau catatan perkawinan tidak dapat ditemukan (dibuktikan) di Kantor Urusan Agama Kecamatan, sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan keabsahannya, maka yang bersangkutan masih bisa mengajukan itsbat nikah.
Itsbat nikah dapat diajukan di Pengadilan Agama. Hal tersebut dilandasi oleh Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama”.
Lebih lanjut, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 3 menegaskan bahwa itsbat nikah yang bisa diajukan ke Pengadilan Agama hanya terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan antara lain adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; hilangya akta nikah; dan adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
Oleh karena itu, jika dalam yang bersangkutan tidak dapat dibuktikan keabsahan perkawinannya di KUA setempat, maka dapat mengajukan itsbat ke Pengadilan Agama. Yang perlu diingat dalam pengajuan itsbat nikah adalah permohonan itsbat tidak selalu dikabulkan oleh Hakim.
Untuk mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, maka ada syarat-syarat yang harus dipersiapkan, antara lain:
- Dapatkan surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah bahwa anda telah menikah
- Minta surat keterangan dari Kantor Urusan Agama setempat guna mendapatkan pernyataan bahwa pernikahan yang Anda lakukan belum dicatatkan
- Buat surat permohonan itsbat dan menyerahkannya ke Pengadilan Agama di daerah anda berada
- Fotokopi KTP pemohon Itsbat Nikah
- Bayar biaya perkara, dan lain-lain yang akan ditentukan hakim dalam persidangan.
Dengan permohonan anda disetujui oleh hakim, berarti status pernikahan anda telah disahkan dan dicatat secara resmi dan anda akan mendapatkan hak-hak dari lahirnya perkawinan tersebut.
Pengurusan yang Mudah
Ada 2 (dua) cara yang dapat ditempuh untuk menerbitkan kembali kutipan akta perkawinan atau buku nikah. Bagi warga muslim, mereka dapat langsung mendatangi Kantor Urusan Agama untuk mengajukan permohonan agar dibuatkan kembali buku nikah.
Bagi warga non-Muslim, mereka dapat mengurus untuk menerbitkan kutipan akta perkawinan kembali di Kantor Pencatatan Sipil. Itsbat nikah ke Pengadilan Agama dapat ditempuh jika di KUA Kecamatan tidak terdapat pencatatan tentang pernikahan tersebut karena kemungkinan berbagai alasan.
Baca Juga: Dear Pengantin Baru, ini 5 Keuntungan Membeli Rumah Minimalis