REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Tidak semua orang pendek adalah orang yang menderita stunting. Pernyataan ini diungkapkan peneliti masalah stunting atau kekerdilan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) NTT dan Jawa Timur, Simplicia Maria Anggrahini.
"Jadi saya mau tegaskan bahwa tidak semua orang yang terlihat pendek itu adalah orang yang menderita stunting, tetapi orang yang menderita stunting banyak yang pendek," kata Koordinator peneliti IDAI Cabang NTT tersebut, Selasa (11/2).
Menurut dia banyak orang-orang hebat di Indonesia terlihat pendek tetapi mereka justru pintar dan menjadi orang hebat di negara ini. "Seseorang mengalami stunting diakibatkan oleh berbagai hal salah satunya adalah masalah nutrisi yang diterima oleh penderita stunting saat masih berusia balita," ujar dia.
Selain nutrisi, masalah lain adalah sanitasi yang tak baik, kesehatan saat ibu sedang hamil, serta pemberian nutrisi yang kurang saat anak berusia 1-2 tahun. Ketua IDAI Cabang Nusa Tenggara Timur Fransiskus Taolin yang juga masuk dalam kelompok penelitian soal stunting di NTT mengatakan pencegahan kasus stunting harus bisa dilakukan oleh ibu saat anak berusia di bawah dua tahun.
"Alasannya karena setelah dua tahun kita tidak bisa memperbaiki lagi tumbuh kembang anak khususnya otak. Sebab otak tumbuh paling pesat itu saat anak berada di usia satu hingga dua tahun," ujar dia.
Sebenarnya di usia tiga sampai dengan enam tahun tumbuh kembang anak masih bisa diperbaiki. Namun, lanjut Taolin, pertumbuhan anak tak seperti yang terjadi pada usai satu hingga dua tahun.
Karena itu pihaknya menganjurkan kepada ibu-ibu hamil di Indonesia, khususnya NTT, untuk selalu rajin memeriksakan kandungannya selama bayi berada dalam kandungan untuk mengecek kesehatan janin. Usai melahirkan anak seharusnya juga dibawa ke posyandu guna mengecek berat badan, tinggi, dan lingkar kepala anak. Tujuannya agar jika terdapat gejala stunting bisa segera diperbaiki.