Senin 03 Feb 2020 01:18 WIB

Dibandingkan Daging, Makanan Vegan tak Selalu Lebih Sehat

Makanan vegan umumnya tak memiliki kadar protein yang cukup dibandingkan daging

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Burger vegan (ilustrasi). Makanan vegan umumnya tak memiliki kadar protein yang cukup dibandingkan daging
Foto: Needpix
Burger vegan (ilustrasi). Makanan vegan umumnya tak memiliki kadar protein yang cukup dibandingkan daging

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Versi vegan dari beragam jenis makanan populer tampak semakin menjamur dan diminati masyarakat. Terlebih saat ini ada cukup banyak variasi makanan cepat saji vegan yang semakin memudahkan masyarakat untuk menyantap makanan vegan.

Salah satu contoh variasi vegan untuk makanan cepat saji adalah "tofish and chips". "Tofish and chips" merupakan versi vegan dari menu populer fish and chips di mana bahan dasar ikan pada fish and chips digantikan dengan tahu atau tofu.

Makanan cepat saji vegan seperti "tofish and chips" memang tampak lebih sehat dibandingkan menu cepat saji yang terbuat dari daging-dagingan. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa makanan-makanan cepat saji vegan bisa memiliki dampak lebih buruk terhadap kesehatan dibandingkan makanan cepat saji dari daging-dagingan.

"Itu membuat kita berpikir bahwa (makanan vegan) baik untuk kita di saat makanan tersebut bisa sama tidak sehatnya atau bahkan lebih tidak sehat," ungkap ahli gizi King's College London Megan Rossi, seperti dilansir BBC.

Rossi dan beberapa ahli gizi lain mengungkapkan bahwa setidaknya ada lima hal yang bisa membuat makanan vegan menjadi kurang menyehatkan dibandingkan daging-dagingan. Berikut ini adalah keempat hal tersebut.

Jenis Omega 3 yang Berbeda

Tahu mengandung omega 3 seperti halnya pangan hewani. Akan tetapi, jenis omega 3 pada tahu berbeda dengan omega 3 yang terdapat pada pangan hewani. Tahu atau makanan berbasis tumbuhan lain memiliki kandungan omega 3 bernama alpha-linolenic acid (ALA).

Agar bisa bermanfaat bagi kesehatan, ALA harus diubah menjadi eicosapentaenoic acid (EPA) atau docosahexaenoic acid (DHA). Akan tetapi, tubuh manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengubah ALA menjadi EPA atau DHA.

Seperti diketahui, yang membuat omega 3 mampu memberikan dampak positif bagi otak adalah kandungan DHA-nya. Sedangkan EPA diketahui berkaitan dengan penurunan gejala depresi. DHA dan EPA bisa ditemukan dalam jumlah besar pada pangan hewani seperti ikan berlemak.

Protein Berbeda

Belimbing merupakan salah satu menu vegan yang populer. Belimbing matang memiliki rasa yang manis, sedangkan belimbing yang mentah memiliki rasa gurih dengan tekstur seperti daging. Oleh karena itu, belimbing kerap digunakan sebagai pengganti daging dalam menu-menu vegan.

Namun belimbing bukanlah sumber protein yang baik. Bahkan, pangan nabati lain yang mengandung banyak protein masih belum bisa sebanding dengan pangan hewani dalam hal kandungan proteinnya. Padahal, protein yang tersusun dari asam amino  memiliki peran penting bagi sel-sel dan hormon di dalam tubuh.

"Sebagian besar tumbuhan tidak memiliki kandungan dalam jumlah yang baik untuk semua jenis asam amino esensial," ungkap ahli gizi Rachel Clarckson.

Clarckson mengatakan sumber protein berbasis nabati biasanya kekurangan minimal satu dari sembilan jenis asam amino esensial. Artinya, orang-orang yang menjalani diet vegan harus sangat berhati-hati dalam menyeimbangkan asupan protein dari makanan atau harus mendapatkan tambahan dari suplemen.

Di sisi lain, daging, telur dan produk turunan susu dinilai sebagai sumber protein yang baik. Alasannya, ketiga jenis pangan hewani tersebut mengandung seluruh jenis asam amino esensial dalam jumlah yang baik.

Zat Besi Berbeda

Hal lain yang membedakan panganhewani dan pangan nabati adalah kandungan zat besinya. Beberapa pangan nabati memang memiliki kandungan zat besi dalam jumlah tinggi seperti gandum utuh dan bayam. Namun lagi-lagi, jenis zat besi dalam pangan nabati bukan jenis yang terbaik untuk bisa dimanfaatkan oleh manusia.

Jenis zat besi pada pangan hewani adalah zat besi heme, sedangkan jenis zat besi pada pangan nabati adalah non heme. Zat besi non heme tidak bisa diserap dengan baik oleh tubuh manusia. Hal ini tentu perlu diperhatikan karena kekurangan zat besi dapat memunculkan beragam masalah kesehatan, khususnya pada perempuan.

Meta analisis dari sebuah penelitian mengenai defisiensi zat besi menunjukkan bahwa 25 persen penganut diet vegan memiliki kadar zat besi yang sangat rendah. Hanya 3 persen dari penganut vegetarian dan 0 persen dari pemakan semua yang memiliki kadar zat besi sangat rendah.

Keju Lebih Banyak

Menu vegan, seperti burger, seringkali disertai dengan tambahan keju vegan. Konsumsi keju dalam jumlah kecil bisa membawa manfaat bagi tubuh karena keju difermentasikan oleh bakteri yang memproduksi peptida yang bermanfaat bagi tubuh.

Akan tetapi, sebagian besar keju vegan tidak terfermentasi."Keju vegan berkalori, tapi memiliki nutrisi lebih rendah," ujar Rossi.

Defisiensi Nutirisi

Vegan merupakan pola pengaturan makan yang rentan dengan risiko defisiensi zat gizi bila tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mengombinasikan makanan yang baik. Defisiensi zat gizi ini mungkin tak akan dirasakan dampaknya dalam waktu dekat.

Akan tetapi, defisiensi zat gizi lambat laun akan memunculkan beragam keluhan. Defisiensi B12 misalnya, dapat menyebabkan rasa lelah dan pikiran yang berkabut, defisiensi zat besi berkaitan dengan infertilitas sedangkan defisiensi kalisum berkaitan dengan osteoporosis.

"Dan osteoporosis yang disebabkan defisiensi kalsium tidak muncul hingga akhir 40-an tahun dan 50-an tahun pada sebagian besar orang," pungkas Rossi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement