REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Waktu yang banyak digunakan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga tidak membuat sejumlah pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia yang ada di Hong Kong kehilangan ide-ide kreatif mereka. Salah satu bukti, yakni mereka berhasil menelurkan karya-karya sastra.
“Meskipun pekerja rumah tangga, tetapi mereka bisa membuat karya-karya kreatif,” ujar penulis kondang Helvy Tiana Rosa usai memperoleh gelar doktor melalui disertasi Proses Kreatif Menulis Cerpen Perempuan Pekerja Rumah Tangga di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta Timur, Kamis (30/1).
Helvy meneliti lima orang PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong lebih dari lima tahun. Kelimanya terdiri dari Bayu Insani, Ida Raihan, Susie Utomo, Syifa Aulia, dan Jaladara. Ide yang mereka dapat untuk menulis karya-karya cerita pendek (cerpen) berasal dari beberapa kegiatan dan pengalaman yang telah dilalui.
“Cerpen tersebut idenya terinspirasi dari realita yang dialami pengarang, maupun rekan seprofesi mereka di Hong Kong. Ide tersebut kemudian diolah menjadi cerita dengan ditambahkan unsur imajinasi dan kekuatan wawasan pengarang,” kata Helvy.
Mereka mengambil latar dunia mereka sehari-hari, dunia yang amat dekat dengan mereka. Pemilihan latar yang dilakukan berdasarkan dari berbagai tempat di Hong Kong. Tempat-tempat seperti tempat penampungan bagi perempuan PRT yang bermasalah dengan majikannya, hingga ruang pengadilan di Hong Kong.
Karakter yang menjadi sentral kisah mereka merupakan perempuan PRT sebagai protagonis. Melalui tokoh-tokoh itulah mereka beraksi dan menyuarakan kegelisahan terhadap nasib para PRT di Hong Kong.
Proses kreatif kelima PRT itu, jelas Helvy, menjadi temuan baru bagi kekayaan sastra Indonesia. Itu karena kisah-kisah yang mereka tulis dapat membuka mata pembaca akan persoalan para buruh migran, khususnya perempuan PRT asal Indonesia di Hong Kong maupun di negara-negara lainnya.
Karya mereka juga ia sebut menunjukkan hal baru dalam sastra Indonesia dengan corak yang berbeda. Perempuan PRT menjadi sosok sentral dalam kisah-kisah yang mereka buat. Selain itu, persoalan-persoalan mereka di perantauan menjadi konflik utama dalam cerpen-cerpen yang mereka hasilkan.
“Cerpen-cerpen mereka dalam penelitian ini memenuhi indikator capaian cerita pendek yang baik,” ungkapnya.
Menurut dia, PRT itu memikirkan maupun membuat karya-karya sastra itu mencuri-curi waktu di sela pekerjaan maupun istirahat mereka. Mereka kerap menyiasati waktu yang sebetulnya amat sedikit. Contohnya, ketika tengah menjemput anak majikan, mereka mencari ide di jalan.
“Mereka seperti Kunto Wijoyo, yang selalu membawa notes. Dapat ide pas lagi masak, pas mau tidur juga mikir,” jelasnya.
Penggunaan buku catatan tersebut juga tidak bisa sembarangan. Helvy menuturkan, mereka kerap berhati-hati meletakkan buku catatan milik mereka karena takut dianggap sebagai mantera untuk mengirim guna-guna kepada majikannya.
“Kebanyakan pas mau tidur (menulisnya). Mereka memakai jam menulis untuk menulis. Selain itu, peraturan perburuhan di Hong Kong juga baik, mereka mendapatkan waktu libuar satu hari, itu bisa mereka pakai untuk menulis,” katanya.
Kelima PRT yang Helvy teliti tersebut berasal dari tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Insani dan Raihan merupakan lulusan sekolah dasar, Susie dan Aulia merupakan lulusan sekolah menengah atas, sedangkan Jaladara merupakan lulusan sarjana yang ia dapatkan di Hong Kong.
Penelitian tersebut membuktikan, sampai dengan tahapan tertentu menulis karya sastra, termasuk cerpen, bisa dipelajari dan dilakukan oleh siapa pun, apa pun latar belakang pendidkannya. Itu bisa dilakukan jika seseorang memiliki kreativitas, passion, dan perseverance yang tinggi.
“Serta memilih menulis sebagai ekspresi kreatif, siapa pun dapat menulis cerpen, meskipun orang tersebut berada di bawah tekanan yang konstan,” jelas Helvy.
Dalam disertasinya tersebut, Helvy memberikan beberapa rekomendasi. Salah satunya, yakni merekomendasikan pemerintah untuk membekali para perempuan PRT Indonesia di luar negeri dengan kemampuan literasi yang baik, termasuk kemampuan menulis.
“Dengan begitu, mereka akan terampil berkomunikasi melalui tulisan, memiliki kebiasaan bernalar, menyampaikan pikiran dan perasaan, serta runtut dalam mengemukakan gagasan,” jelasnya.
Menurut dia, jika lebih banyak karya yang dihasilkan melalui proses menulis kreatif itu, karya-karya tersebut dapat digunakan untuk memahami segmen PRT migran lebih baik lagi. Sehingga, pemerintah dan wakil rakyat dapat menghasilkan kebijakan serta regulasi yang lebih berpihak kepada mereka.
“Misi mereka adalah menyuarakan penderitaan mereka, menyuarakan pikiran, perasaan mereka, biar didengar sampai ke pemerintah sehingga nanti muncul regulasi-regulasi yang memihak kepada mereka,” tuturnya.