Kamis 16 Jan 2020 23:19 WIB

PDPI: Rokok Elektrik Bukan Terapi untuk Berhenti Merokok

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Agus Dwi Susanto Sp.P(K), FAPSR, FISR membantah anggapan bahwa rokok elektrik bisa menjadi terapi untuk berhenti merokok.

Rep: Thomas Rizal (cek n ricek)/ Red: Thomas Rizal (cek n ricek)
Sumber: Antara
Sumber: Antara

CEKNRICEK.COM -- Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Agus Dwi Susanto Sp.P(K), FAPSR, FISR membantah anggapan bahwa rokok elektrik bisa menjadi terapi untuk berhenti merokok.

Agus mengacu pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (Food and Drug Administration atau FDA) Amerika Serikat yang tidak merekomendasikan rokok elektronik untuk terapi berhenti merokok.

"WHO maupun FDA tidak merekomendasikan dengan alasan efektivitas. Rokok elektronik tidak efektif dan tidak memenuhi persyaratan sebagai modalitas berhenti merokok," kata Agus di Jakarta, Kamis (16/1) seperti dilansir Antara.

Agus mengatakan untuk digunakan sebagai terapi berhenti merokok ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi rokok elektronik dan sebagian besar diantaranya tidak dapat dipenuhi. Salah satunya adalah rokok elektronik tidak boleh meningkatkan risiko penyakit.

Syarat tersebut tidak terpenuhi karena rokok elektronik terbukti mengandung nikotin, zat-zat karsinogen, dan racun. Agus mengatakan penelitian-penelitian di berbagai negara juga menemukan kandungan zat karsinogen dalam rokok elektronik yang dapat memicu kanker.

"Nikotin menimbulkan dampak kecanduan dan dalam jangka panjang juga dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Kanker muncul tidak dalam jangka pendek, tetapi 15 tahun hingga 20 tahun baru akan terlihat," kata Agus.

Syarat lainnya adalah penggunaan sebagai terapi berhenti merokok harus melalui pengawasan penuh. Hal itu lagi-lagi tidak dipenuhi rokok elektronik karena penggunanya bisa menggunakan tanpa pengawasan bahkan semaunya.

"Ketika dipakai sebagai modalitas berhenti merokok dan dikatakan berhasil, juga harus memenuhi syarat berhenti dari penggunaan modalitas tersebut. Namun, nyatanya rokok elektronik tetap digunakan, hanya pengalihan dari rokok biasa," ucapnya.

Sebelumnya, salah satu dasar penelitian yang dianggap membuktikan rokok elektrik sebagai produk yang lebih aman ketimbang rokok konvensional adalah penelitian yang dilakukan oleh Public Health England (PHE) yang menyebut rokok elektrik atau vape 95 persen lebih aman ketimbang rokok.

Hal ini diamini National Health Service (NHS) Inggris yang menyebut rokok elektrik sebagai solusi paling efektif untuk berhenti merokok, ketimbang produk tembakau alternatif pengganti lainnya seperti nikotin patch ataupun metode berhenti total (cold turkey).

Baca Juga: Dual Use Vape dan Rokok Berpotensi Meningkatkan Risiko Stroke

Kendati demikian, Agus menolak hasil itu mengacu pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan di Indonesia. Penelitian lokal menemukan bahwa rokok elektronik sama bahayanya dengan rokok biasa.

"Penelitian di Rumah Sakit Persahabatan pada 2018 menemukan kandungan nikotin dalam urine pengguna rokok elektronik dengan rokok biasa tidak berbeda atau hampir sama. Itu baru dalam urine, belum pada darah," katanya.

Selain itu, penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga terhadap binatang percobaan yang dipaparkan asap rokok biasa dan uap rokok elektronik juga menemukan tidak ada perbedaan dampak terhadap binatang percobaan yang dipapari kedua produk tersebut.

BACA JUGA: Cek LINGKUNGAN HIDUP, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ceknricek.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ceknricek.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement