Kamis 26 Dec 2019 17:07 WIB

Eksotisme Sejarah Candi Cetho Karanganyar

Candi Cetho adalah peninggalan zaman Majapahit yang menyisakan banyak cerita sejarah.

Rep: Joglosemar/ Red: Joglosemar

KARANGANYAR, JOGLOSEMARNEWS.COM -- Karanganyar memang dikenal banyak memiliki obyek wisata baik alam maupun wisata sejarah. Salah satu yang menjadi daya tarik wisatawan adalah obyek wisata Candi Cetho.

Peninggalan zaman Majapahit itu hingga kini banyak menyisakan cerita sejarah. Dilansir dari website Pemkab Karanganyar, Candi Cetho (ejaan Bahasa Jawa: cetha) merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15).

Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya.

Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh.

Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400 m di atas perrnukaan laut. Sarnpai saat ini, komplek candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/ Kejawen.

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan rereuntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras, membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli (“punden berundak”) pada masa itu, yang disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.

Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam.

Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung Sabdapalon, Nayagenggong Brawijaya V. Serta phallus dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan area Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi. Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.

Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta, sedangkan phallus merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangkat tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern.

Candi Sukuh. Foto/Humas[/caption]

Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu padad dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan.

Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pemdapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan.

Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut “kuntobimo”) di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat.

Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertimggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus. JSnews

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan joglosemarnews.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab joglosemarnews.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement