REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Kepala Psikologi Sosial Universitas Kristen Maranatha, Efnie Indriani, mengingatkan bahwa perceraian dapat memberikan dampak yang beragam bagi setiap anggota keluarga. Bukan saja pasangan yang merasakan, buah hati pun ikut terdampak.
Efnie mengatakan, perceraian sering kali memberikan efek traumatik bagi anak. Apalagi, suami-istri tak jarang bertengkar di depan anak sebelum bercerai.
"Ini bisa menimbulkan luka batin pada anak," kata Efnie saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/11).
Oleh karena itu, Efnie menyarankan agar orang tua bersikap dewasa ketika menghadapi masalah. Selain itu, ia juga menyarankan agar kedua belah pihak juga tetap berkolaborasi dalam membesarkan anak.
"Ini membuat anak masih bisa merasakan perasaan nyaman dan tenang," kata dia.
Efnie menilai, adaptasi akan lebih mudah andaikan perceraian terjadi ketika anak masih balita. Catatannya, kedua orang tua tetap solid dalam menemani anak.
Sementara itu, kalaupun perceraian terjadi saat anak usia lebih besar, maka orang tua tetap perlu memberikan pendampingan khusus kepada anak. Ia beralasan, anak yang sudah menginjak usia lebih besar telah mampu berpikir kritis.
"Anak sudah lebih kritis dalam menyikapi perpisahan orang tuanya," ujar Efnie.
Humas Pengadilan Agama Kota Bekasi Ummi Azma mengatakan, dalam beberapa kasus perceraian, orang tua tak lagi berkolaborasi dalam membesarkan anak. Salah satu buktinya adalah adanya laporan dari orang tua yang kesulitan menemui anaknya.
Humas PA Kota Bekasi itu menyebutkan, pada tahun 2018 ada 42 perkara pengasuhan anak (hadlonah). Dari jumlah tersebut, sebanyak 33 perkara hadlonah telah diputuskan oleh PA Kota Bekasi.
"Pada dasarnya hak asuh anak diberikan atas pertimbangan kesejahteraan anak. Tapi kalau dia sudah lebih dari 12 tahun, maka ia akan dihadirkan. Kami akan tanya, dia nyamannya sama siapa, apakah sama bapak atau ibunya," kata Ummi.