REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Salah satu taman margasatwa Cina dimejahijaukan menyusul gugatan seorang pakar hukum Prof Guo Bing. Gugatan tersebut dilayangkan setelah Taman Safari Hangzhou mengganti sistem sidik jari yang selama ini telah berlaku dengan teknologi baru yang membuat pengunjung harus menjalani pemindaian pengenalan wajah.
"Saya (mengajukan kasus ini) karena saya merasa tidak hanya hak (privasi) saya dilanggar, tetapi juga banyak lainnya," kata profesor dari Universitas Zhejiang di Sci-Tech, dikutip dari The Guardian.
Pengadilan di Fuyang telah menerima kasus tersebut. Gou menjelaskan, pengajuan tuntutan ini berangkat dari pertanyaan tujuan kebun binatang perlu mengumpulkan informasi pribadi pengunjungnya.
Gou pun meragukan keamanan data pengunjung di tangan pengelola Taman Safari Huangzhou. Terlebih, tak jelas siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi kebocoran data.
Lebih lanjut, Guo berusaha membuat pengelola taman safari mengembalikan uang yang dibayarkan untuk berlangganan tiket masuk tahunan. Dia juga menyoroti penyalahgunaan data yang dikumpulkan oleh perangkat lunak yang digunakan taman safari itu.
Taman Safari Huangzhou memperkenalkan pengenalan wajah pertama kali pada bulan Juli. Pihak pengelola menyatakan bahwa pengunjung yang tidak menyetorkan informasi biometrik hingga 17 Oktober, tidak akan bisa masuk. Sekitar 10 ribu pengunjung memegang karcis tahunan seharga 195 dolar AS untuk empat orang anggota keluarga.
Guo awalnya mencoba untuk membatalkan kartu langganannya dan mendapatkan uang kembali setelah perangkat lunak pengenalan wajah diperkenalkan. Namun, pihak taman menolak untuk mengembalikan uang secara penuh.
Sebelumnya, pemegang kartu dipindai dengan sidik jari. Teknologi itu diganti setelah kegagalan fungsi sistem menyebabkan antrean panjang.
"Saya pikir tidak apa-apa dan sampai batas tertentu, perlu bagi lembaga pemerintah, terutama departemen kepolisian, untuk menerapkan teknologi ini, karena itu membantu menjaga keamanan publik," kata Guo memebrikan dukungan penggunaan alat tersebut sesuai fungsi.
Kasus ini mungkin bisa membuka debat yang lebih luas di Cina tentang penggunaan teknologi pemindai wajah oleh bisnis dan pemerintah. Penggunaan teknologi tersebut saat ini makin lumrah ditemui di negeri itu.
"Penggunaan pengenalan wajah oleh Cina, secara menyeluruh, tanpa pemberitahuan atau persetujuan, sangat mengejutkan," kata pakar privasi Ann Cavoukian.
Dengan munculnya tuntutan tentang privasi dalam pemanfaatan teknologi, Ann berharap akan ada lebih banyak perlawanan terhadap pengawasan seperti itu. "Tapi saya ragu itu akan banyak berpengaruh di China," ujarnya.
Cavoukian mengatakan, perangkat lunak pengenal wajah sangat tidak akurat dan sering menghasilkan persentase positif palsu yang tinggi. Pernyataan itu merujuk pada kasus baru-baru ini di Inggris, ketika polisi menggunakan perangkat lunak pengenal wajah yang salah hingga 81 persen.