Jumat 01 Nov 2019 16:32 WIB

Yayasan Kakak: Anak Mulai Merokok Usia 7 Tahun

Anak-anak pecandu rokok di Solo mengaku mulai merokok saat masih berusia 7 tahun.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Reiny Dwinanda
Kampanye stop merokok. (ilustrasi)
Foto: Antara/Zabur Karuru
Kampanye stop merokok. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Hasil konsultasi anak yang dilakukan Yayasan Kakak yang melibatkan anak-anak pecandu rokok di Solo menunjukkan anak-anak mulai merokok pada usia 7 tahun. Konsultasi anak tersebut diikuti oleh 10 anak dari Kelurahan Mojo dan Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon dengan rentang umur 9-16 tahun.

Direktur Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati, mengatakan, alasan anak-anak merokok sebanyak 62,5 persen mengikuti teman, 12,5 persen karena rasanya enak, dan 25 persen karena mengikuti bapak. Anak-anak yang kecanduan rokok tersebut sebelumnya pernah mencoba merokok dengan mengambil sisa puntung rokok atau mengambil rokok dari bapak mereka.

Baca Juga

Pengaruh lainnya dari teman yang sudah merokok. Kawan mereka menceritakan rasa rokok sehingga membuat mereka tergoda mencoba dan akhirnya kecanduan.

"Yang melatarbelakangi anak-anak merokok, karena melihat orangtua merokok di rumah. Salah satu hal yang membuat mereka merokok juga karena adanya iklan," kata Shoim di acara peluncuran buku berjudul Anak-Anak di Kota Solo Dikepung 1.472 Iklan Rokok, di Hotel Sahid Jaya Solo, Selasa (29/10)

Dalam satu hari, anak-anak pecandu rokok merokok dalam jumlah berbeda sesuai kemampuan membeli rokok. Rata-rata dalam sehari jumlah batang rokok yang dihabiskan lebih dari 10 batang sebanyak 50 persen, 5-8 batang sebanyak 12,5 persen, 3-5 batang sebanyak 12,5 persen, dan 2 batang sebanyak 25 persen.

Di sisi lain, anak-anak cukup mudah untuk mendapatkan rokok karena tersedia di warung dan bebas dijangkau anak-anak. Mereka membeli secara eceran maupun per bungkus.

"Dari hasil konsultasi dengan anak-anak perokok candu, mereka mengeluarkan uang satu bulan paling rendah Rp 45 ribu dan paling tinggi sekitar Rp 690 ribu," ungkapnya.

Kebutuhan uang untuk konsumsi rokok tersebut bersumber dari uang saku, meminta orang tua, patungan dengan teman, bahkan dengan mengamen.

Fakta tersebut menjadi persoalan karena anak-anak perokok aktif memiliki beberapa keluhan ketika berhenti merokok. Keluhan paling sering berupa mulut asam atau pahit, dada berdebar, dan tidak bisa tidur. Ada 25 persen anak yang mengatakan biasa saja karena jumlah konsumsi rokok belum terlalu banyak.

Shoim mengungkapkan, ada banyak persoalan sosial ketika anak-anak menjadi pecandu rokok. Ketika anak tak punya uang, hasrat untuk merokok membuat mereka terpikir untuk mencuri.

"Caranya, saat membeli di warung ada yang mengajak penjual mengobrol dan anak lainnya mengambil rokok," papar Shoim.

Di samping itu, hasil monitoring iklan, promosi dan sponsor rokok yang dilakukan oleh Forum Anak yang diinisiasi Yayasan Kakak menemukan 1.472 iklan rokok di Kota Solo. Secara rinci, kategori iklan 62,75 persen, promosi 36,93 persen dan sponsor 0,31 persen. Monitoring dilakukan selama dua pekan.

Sementara itu, Kepala Bidang Pendaftaran, Pendataan dan Penetapan Pajak Daerah Badan Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aaet Daerah (BPPKAD) Muhammad Usman, mengatakan Pemkot sangat mendukung adanya kawasan tanpa rokok. Apalagi, pajak reklame kontribusi tidak terlalu tinggi.

"Yang cukup tinggi di pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan kami akan konsen di pajak restoran," jelas Usman.

BPPKAD ditarget untuk pendapatan pajak daerah di angka Rp 350 miliar. Tren pendapatan pajak daerah yang dikelola BPPKAD setiap tahun dituntut meningkat.

Usman mengatakan, BPPKAD akan mencoba meningkatkan pajak ke sektor pajak lain seperti pajak restoran dan pajak hiburan. Sebab, selama ini pajak menjadi penopang pembangunan Kota Solo.

"Karena hampir 65 persen kita menggantungkan di pajak. Kalau retribusi dan pendapatan lain-lain hanya sekitar 35 persenan," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement