REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan sehari-hari generasi milenial saat ini cukup familiar dengan kebiasaan menyeruput kopi kekinian yang bermunculan di berbagai tempat, memesan makanan dengan tinggal klik via aplikasi, dan memesan transportasi daring untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal-hal seperti itu merupakan salah satu contoh Latte Factor.
Istilah yang mengacu kepada pengeluaran kecil tidak penting yang bisa ditiadakan namun rutin dilakukan sehari-hari ini diperkenalkan oleh David Bach, salah seorang pakar keuangan yang terkenal dengan rangkaian seri bukunya.
"Latte Factor tidak hanya mengenai kopi yang kini semua orang berlomba-lomba untuk berjualan di setiap sudut kota, namun juga berbagai pengeluaran lainnya yang tidak disadari seperti membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, biaya transfer antarbank, hingga biaya top-up uang elektronik," kata Managing Partner Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani, dalam siaran persnya, Selasa (29/10).
Latte Factor memang lebih banyak menjangkiti kaum milenial, generasi yang sudah terbiasa dengan kecanggihan teknologi. Hal itu diikuti dengan semakin mudahnya berbagai akses kebutuhan hidup melalui gawai yang menjadikan mereka lebih gampang mengeluarkan uang hanya untuk eksistensi di media sosial, ikut-ikutan tren, atau memuaskan nafsu belanja yang disesali kemudian.
"Latte Factor bisa muncul dengan mudah hanya karena kebiasaan, tekanan sosial hingga kontrol diri yang lemah. Tanpa disadari Latte Factor menggerogoti penghasilan hingga sulit untuk menabung apalagi berinvestasi,” kata Gani.
Properti, ujar Gani, tampaknya belum tertanam dalam pola pikir maupun mindset generasi milenial, bahwasanya properti berfungsi sebagai instrumen investasi jangka panjang namun juga kebutuhan pokok.
"Dengan banyaknya Latte Factor hingga faktor lainnya seperti tren traveling dengan tujuan eksplorasi berbagai tempat selagi muda semakin menjauhkan generasi milenial dari motif memiliki rumah," katanya
Berdasarkan house price to annual income ratio atau harga rumah berbanding pendapatan per tahun, harga properti yang sebaiknya dibeli maksimal tiga kali dari penghasilan tahunan.
Melihat hal tersebut, Grand Thornton Indonesia menyarankan pada generasi milenial untuk menemukan apa saja Latte Factor mereka, dimulai dengan mencatat pengeluaran harian sejak mulai beraktivitas serta menelusuri apa saja pengeluaran yang tidak penting, dan melakukan efisiensi dan mulai fokus pada kebutuhan pokok untuk membentuk kondisi finansial yang lebih stabil.
"Apabila pengeluaran untuk Latte Factor ini bisa dikontrol dan diminimalisir, tentu ada potensi dana yang bisa ditabung untuk Down Payment properti impian atau diinvestasikan di instrumen lainnya," katanya.