REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia Indonesia (POPTI) menyebut ciri-ciri kelainan darah itu mirip gejala anemia. Pengidap talasemia juga merasakan letih, lesu, dan lemas.
"Kalau anak pucat, cari pencetus anemianya karena apa,” kata salah petinggi POPTI Puspasari dalam talk show and screening talasemia di Kantor Wali Kota Jakarta Timur, Ahad (27/10).
Puspasari menjelaskan, talasemia bukan suatu penyakit, melainkan kelainan genetika yang menurun dari orang tua yang sama-sama pembawa sifat talasemia. Talasemia merupakan kelainan darah di mana usia darah lebih singkat daripada yang normal. Darah normal berusia 120 hari baru pecah, sementara sel darah merah pengidap talasemia usianya hanya sampai dua hingga tiga pekan.
Kelaianan darah tersebut bisa mulai diketahui mulai dari janin. Syaratnya, calon orang tua mengetahui mereka membawa sifat talasemia. Jika ada gen talasemia, maka wajib memeriksakan diri.
"Setelah dewasa harus cek, tak hanya pas mau menikah baru cek darah,” ujar Puspasari.
Pengecekan talasemia sudah bisa dilakukan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Jika hasil pengecekan darah di bawah standar, maka perlu pengecekan lagi penyebab kelainan darah tersebut.
Puspasari mengatakan temuan kelainan darah di Indonesia mulai ada sejak 1930-an di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat itu, jika ada kelaianan darah, maka harus dicek ke luar negeri.
Pengecekan kelaianan darah di RSCM baru ada sekitar 1960-an. Namun, prosesnya harus melibatkan pemeriksaan sum-sum tulang belakang. Sementara saat ini, pengecekan talasemia bisa dilakukan dengan cek darah sebagai langkah deteksi dini.
Yayasan Thalassaemia Indonesia (YTI) menyebut sebanyak 9.028 orang tercatat menjadi pengidap talasemia di Indonesia pada 2018. Palang Merah Indonesia (PMI) menyediakan sekitar 1.200-an kantung darah per bulan untuk memenuhi kebutuhan tranfusi.
"Anak-anak kami tak lepas dari transfusi darah per dua pekan” kata perwakilan YTI Pusat Irman Sujarwadi.