Senin 28 Oct 2019 21:26 WIB

Studi: Infeksi TB Rata-Rata tak Berlangsung Seumur Hidup

Studi terbaru mengungkap TB bukanlah infeksi yang menyerang seumur hidup.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Reiny Dwinanda
Pasien Tuberkulosis melihat hasil ronsen dadanya. Indonesia, India, China, menjadi tiga negara penderita TBC terbesar dunia.
Foto: EPA
Pasien Tuberkulosis melihat hasil ronsen dadanya. Indonesia, India, China, menjadi tiga negara penderita TBC terbesar dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang umum dan dalam banyak kasus bersifat mematikan. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai strain mikobakteria, umumnya Mycobacterium tuberculosis (MTbc).

Infeksi TB biasanya bersifat asimptomatik dan laten. Namun, sebuah penelitian baru menyebut bahwa TB bukan infeksi yang menyerang seumur hidup.

Baca Juga

Para peneliti di National Institutes of Health dan organisasi nirlaba lainnya menemukan, bahwa orang-orang yang dites positif dengan tes darah dan kulit imunologi tuberkulosis (TB) jarang berkembang penyakitnya Itu bisa terjadi karena organisme yang menginfeksi kemungkinan mati dihancurkan secara alami oleh sistem kekebalan tubuh manusia.

"National Institutes of Health dan organisasi nirlaba lainnya menghabiskan jutaan dolar untuk studi tentang keadaan laten karena asumsi bahwa infeksi TB adalah seumur hidup, dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh," kata co-author penelitian tersebut, Paul H Edelstein dari University of Pennsylvania, dilansir di Times Now News, Senin (28/10).

Namun, berdasarkan analisis mereka, penyakit TB ini jarang menjadi penyakit seumur hidup. Edelstein mengatakan, pada 90 persen atau lebih dari orang yang terinfeksi, tidak ada kemungkinan pengembangan TB bahkan dengan penekanan kekebalan (imunosupresan) yang parah.

Dalam studi yang dipublikasikan di British Medical Journal (BMJ), tim menunjuk beberapa penelitian sebelumnya untuk menunjukkan sejarah alami imunoreaktifitas TB pada orang yang diberi pengobatan pencegahan dan TB aktif pada orang imunoreaktif dengan berbagai bentuk imunosupresan yang berat, seperti pasien dengan HIV dan mereka yang telah menerima transplantasi organ.

Satu penelitian menunjukkan bahwa pengobatan pada orang dengan imunoreaktifitas TB selama satu tahun telah menurunkan insiden TB aktif sebesar 60 hingga 70 persen selama sembilan tahun ke depan. Namun, mereka yang dirawat yang tetap mengalami tes kulit positif terhadap TB hingga sembilan tahun kemudian. Kondisi itu menunjukkan bahwa imunoreaktifitas TB dapat bertahan lebih lama dari eliminasi infeksi paling sedikit sembilan tahun.

Sementara itu, dalam penelitian lain, pasien koinfeksi HIV dan TB yang berisiko lebih tinggi untuk TB aktif, menunjukkan bahwa antara 89 persen dan 97,5 persen dari mereka dengan tes imunoreaktivitas TB positif tetap bebas TB dari infeksi jarak jauh selama periode lima tahun. Sedangkan dalam penelitian ketiga dari pasien transplantasi sel induk, tidak ada satu pun dari 29 peserta dari kohort AS dengan TB immunoreaktivitas mengembangkan TB.

Hal itu dilakukan pada total dari pengamatan 89 pasien-tahun (diukur dalam tahun waktu pengamatan per orang). Menurut Edelstain, imunoreaktivitas TB bukan penanda keberadaan infeksi TB yang berlanjut, melainkan berfungsi sebagai tanda telah terinfeksi TB di beberapa titik.

"Kita perlu lebih berupaya mengendalikan TB aktif dan menentukan bagaimana mendeteksi 10 persen orang yang memang memiliki infeksi seumur hidup," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement