Selasa 22 Oct 2019 00:22 WIB

Maleficent: Mistress of Evil, Terlalu Klasik untuk Evolusi Modern

'Maleficent: Mistress of Evil' justru malah kembali ke format kisah Disney klasik.

Rep: Thomas Rizal (cek n ricek)/ Red: Thomas Rizal (cek n ricek)
Aktor Inggris, Warwick Davis, menghadiri acara premiere Maleficent: Mistress of Evil di London, Inggris, beberapa waktu lalu.
Foto: EPA-EFE/Neil Hall
Aktor Inggris, Warwick Davis, menghadiri acara premiere Maleficent: Mistress of Evil di London, Inggris, beberapa waktu lalu.

Ceknricek.com -- Once upon a time, Disney berani mendobrak tradisi kuno dengan merevolusi cerita dan karakter dari kisah klasik Putri Tidur (Sleeping Beauty), melalui film Maleficent (2014). Bayangkan saja, sosok Maleficent yang selama sekitar 60 tahun terakhir dikenal sebagai peri jahat dan sosok antagonis penyebar kutukan, berani diciptakan ulang menjadi sosok Ibu Peri (Godmother) yang dibalik kekakuannya memiliki hati selembut Putri Salju.

Maleficent I jika kita bisa menyebutnya, juga menunjukkan bahwa cinta sejati tak selalu harus muncul dalam wujud kisah cinta dua sejoli, namun bisa juga dari cinta seorang ibu kepada anaknya. Dalam kasus ini, bukan ciuman dari pangeran tampan seperti kisah-kisah klasik dongeng tradisional yang bisa membangunkan sang Putri Tidur Aurora dari kutukannya, melainkan Maleficent yang merupakan ibu asuhnya sejak kecil.

Sumber: Walt Disney Motion Pictures

Saat sekuel Maleficent II, yakni Maleficent: Mistress of Evil (2019) diumumkan, publik pun menanti evolusi apalagi yang berani disajikan Disney dalam kisah lanjutan ini. Sayangnya, Maleficent II jika kita bisa menyebutnya, justru malah kembali ke format kisah Disney klasik.

Kisah cinta putri cantik dan pangeran tampan, impian perdamaian dengan memadukan dua kekuatan kerajaan, perang antara dua kubu ala Narnia, mahluk-mahluk ajaib ala Negeri Dongeng, semua dikembalikan lagi dalam Maleficent II. Ujung-ujungnya, evolusi yang begitu ciamik pada Maleficent I justru dikembalikan kepada kisah klasik ala film-film Disney pada umumnya.

Sekadar informasi, untuk Maleficent II posisi sutradara memang beralih dari Robert Stromberg (yang juga memiliki kredit di Alice in Wonderland, 2010 serta Oz the Great and Powerful, 2013) ke Joachim Ronning (Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales, 2017).

Belum jelas apakah memang pergantian sutradara inilah yang menyebabkan kembalinya narasi Maleficent ke mazhab klasik. Pasalnya, Maleficent II sendiri masih diproduksi oleh Joe Roth yang juga memproduksi Maleficent I. Begitu pula naskah masih ditulis oleh Linda Woolverton, penulis naskah di film pertama.

Sumber: Walt Disney Motion Pictures

Tanpa alasan yang jelas, Maleficent (diperankan kembali oleh Angelina Jolie) di sekuelnya ini kembali diposisikan sebagai sosok antagonis yang begitu ditakuti orang-orang. Alih-alih meneruskan cerita bahwa sebenarnya Maleficent adalah peri yang baik hati namun disakiti oleh manusia, menjadi jahat dan sudah bertobat, Maleficent II malah mengembalikan amukan dari Maleficent.

Sementara Putri Aurora (diperankan oleh Elle Fanning) yang kini menjadi Ratu tiba-tiba lebih banyak menghabiskan waktu di Moors, hutan ajaib habitat dari Maleficent, tempat Aurora dibesarkan. Seolah-olah Aurora bagaikan Ratu tanpa kerajaan, Sang Ratu menyerahkan kerajaannya kepada para rakyatnya untuk hidup di sistem demokrasi yang mengatur sendiri kehidupannya masing-masing. Dirinya dipinang oleh Pangeran Phillip dari Ulstead (Harris Dickinson), yang memiliki cita-cita untuk mempersatukan dua kerajaan, Moors dan Ulstead demi perdamaian dan kemakmuran.

Sumber: Walt Disney Studios

Disini dapat dilihat jelas bahwa Maleficent II hanya ingin mengembalikan perseteruan dua dunia, manusia dan mahluk ajaib seperti dil film pertama. Jika di Maleficent I dikisahkan perselisihan antara Kerajaan Antah Berantah yang dipimpin Raja Stefan, ayah Aurora dengan mahluk-mahluk Moors, di Maleficent II kerajaan itu seolah-olah lenyap dan perselisihan beralih antara Moors dengan Ulstead. Aurora pun kembali terjebak di peperangan antara Raja/Ratu yang ingin memperluas kekuasaannya, dengan cintanya kepada ibu asuhnya.

Baca Juga: 3 Desainer Rancang Gaun yang Terinspirasi Dari Film Maleficent

Terlepas dari kisah cerita yang agak mengecewakan, Maleficent II sebenarnya masih menyajikan keseruan-keseruan lainnya yang layak dinikmati. Pencinta film Disney akan kembali disuguhkan kepada dunia Negeri Dongeng yang diisi mahluk-mahluk ajaib yang unik. Hal ini tak terlepas dari efek visual yang disediakan Moving Picture Company dan Mill Film.

Begitu pula dengan sinematografi ala Henry Braham (Nanny McPhee, 2005, Guardians of the Galaxy Vol. 2, 2017) yang bisa membuat penonton tersadar jelas, bahwa mereka sedang berada di dunia Disney. Penikmat desain-desain kostum yang elegan juga bisa menikmati karya Ellen Mirojnick, yang membuat para karakternya terlihat tidak pakai baju itu-itu saja.

Rasa salut tertinggi layak diberikan kepada Angelina Jolie, sang pemeran Maleficent. Dirinya begitu menjiwai karakter Maleficent, sosok ibu yang kaku dan protektif kepada anaknya, namun sebenarnya memiliki hati tulus yang baik. Jolie sendiri dalam sebuah wawancara pernah mengakui bahwa dirinya sudah merasa sangat familiar memerankan sosok peri Dark Fey itu di Maleficent II ini.

Adapun akting meledak-ledak dari Michelle Pfeiffer yang berperan sebagai Ratu Ingrith, sosok antagonis sebenarnya dalam film ini juga menunjukkan kualitas asli seorang Pfeiffer. Hal ini agak mengingatkan kita saat Pfeiffer berlenggak lenggok dengan baju ketat Catwoman di Batman Returns (1992).

Baca Juga: Kala Iron Man Banting Setir Jadi Dokter Hewan

Sementara aksi Chiwetel Ejiofor dan Ed Skrein yang tampil sebagai Conall dan Bora, karakter Dark Elf kaum Maleficent, sebenarnya agak terlalu kecil bagi dua aktor kawakan itu. Ejiofor dan Skrein seolah hanya menjadi pelengkap demi ambisi Disney mengembalikan kisah klasik di Maleficent II.

Pada akhirnya, seperti kata-kata favorit Maleficent, “Well, well,” Maleficent: Mistress of Evil yang mulai dirilis pada Rabu (16/10) di bioskop-bioskop Indonesia ini layak dinikmati oleh pencinta film klasik Disney. Namun jika Anda berharap mendapat kesan “Wah” seperti yang ada pada film pertamannya, mungkin Anda hanya bisa berkata, “Well, Well.”

Peringatan tambahan untuk keluarga yang mengajak anak kecil untuk menonton film ini, mungkin ada beberapa adegan dimana mereka belum cukup umur untuk menyaksikannya. Setidaknya ada 2-3 adegan ciuman yang biasanya disensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, namun luput dalam film ini. Mengingat adegan serupa di film Aquaman (2018) dipotong, mungkin LSF lupa bahwa Maleficent ini sebenarnya film anak-anak. (Ed:Nadia)

 

 

BACA JUGA: Cek BREAKING NEWS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ceknricek.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ceknricek.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement