REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Penelitian baru di Amerika Serikat (AS) menemukan orang yang memasak dan makan lebih banyak di rumah memiliki tingkat bahan kimia PFAS yang lebih rendah. Bahan kimia itu umumnya ditemukan dalam kemasan makanan cepat saji serta makanan yang dipesan lalu dibawa pulang.
Penelitian ini dilakukan di Silent Spring Institute. Studi baru melihat data yang dikumpulkan dari 10.106 peserta yang mengambil bagian dalam surVei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES).
Ini merupakan program yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) untuk melacak tren kesehatan dan gizi di AS. Peserta diminta menjawab pertanyaan tentang diet mereka dan merinci apa yang telah dikonsumsi dalam 24 jam sebelumnya, tujuh hari, 30 hari, dan 12 bulan.
Para peserta juga memberikan sampel darah yang dianalisis untuk sejumlah bahan kimia PFAS (per-dan plyfluoroalkyl) yang berbeda. Bahan kimia yang ada adalah bahan kimia yang biasa digunakan dalam berbagai benda sehari-hari, termasuk produk anti lengket, tahan noda, tahan air, seperti karpet, peralatan masak, pakaian luar, dan kemasan makanan.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Health Persepectives ini, menunjukkan peserta yang makan lebih banyak di rumah memiliki kadar PFAS yang secara signifikan lebih rendah dalam tubuh mereka. Dari makanan yang dimakan di rumah, 90 persen dibuat dengan makanan yang dibeli di toko kelontong.
Para peserta yang makan lebih banyak makanan cepat saji atau yang lebih sering di restoran, lebih cenderung memiliki tingkat PFAS yang lebih tinggi dalam tubuh mereka. Menurut peneliti makanan cepat saji dan makanan dari restoran lebih mungkin terkontaminasi dengan PFAS, mungkin karena kontak dengan kemasan makanan yang mengandung bahan kimia.
Peneliti juga menemukan orang yang makan lebih banyak popcorn microwave memiliki tingkat PFAS yang jauh lebih tinggi. Sebuah temuan yang senada dengan penelitian lain, mungkin sebagai akibat bahan kimia yang keluar dari kantong popcorn.
“Ini adalah studi pertama yang mengamati hubungan antara berbagai sumber makanan dan paparan PFAS pada populasi AS,” kata rekan penulis Laurel Schaider, Ph. D, seperti yang dilansir dari Malay Mail, Jumat (11/10).
“Hasil kami menunjukkan migrasi bahan kimia PFAS dari kemasan makanan ke dalam makanan dapat menjadi suatu sumber penting paparan bahan kimia ini,” ujarnya menambahkan.
PFAS sebelumnya telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk kanker, tiroid, penekanan kekebalan tubuh, berat lahir rendah dan penurunan kesuburan.
Keimpulan umum disini adalah semakin sedikit kontak makanan dengan kemasan makanan, semakin rendah paparan seseorang terhadap PFAS dan bahan kimia berbahaya lainnya. “Temuan terbaru ini diharapkan akan membantu konsumen menghindari paparan dan memacu produsen untuk mengembangkan bahan kemasan makanan yang lebih aman,” kata Rodgers.