REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia modern terutama wanita lima kali berpotensi mengalami stres. Tingginya potensi stres di wanita bhkan lebih dari pada orang-orang yang hidup 30 tahun yang lalu.
“Ini menjadi problem bukan hanya di Indonesia namun seluruh dunia. Sehingga, bisa Anda bayangkan bagaimana bisa mereka memaksimal potensi diri yang mereka punya kalau mereka sedang stres,” ujar Pakar Ilmu Sosial, Budaya dan Komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr. Devie Rahmawati talkshow bertajuk “#TakTerhentikan” yang diadakan Sunsilk di Jakarta Selatan, Senin (7/10).
Menurutnya ada tiga faktor yang membuat wanita jauh berpotensi stres ketimbang laki-laki.
Faktor biologis
Saat ini banyak remaja yang mengalami percepatan pubertas karena mereka megalami dinamika hormon. Gangguan hormon ini secara inheren membuat wanita tiga kali lipat rentan alami depresi.
Mencari validitas sosial
Remaja sekarang kebanyakan menjadi ‘zombie digital’, mereka berada di dunia digital namun tidak memiliki tujuan hidup. Mereka sangat tergantung dengan validitas dari orang lain.
“Mereka terobsesi untuk mendapatkan ‘like’ di media sosial mereka,” imbuhnya.
Mereka tidak fokus untuk memperkaya dirinya namun mereka berusaha untuk mendapatkan validitas sosial.
Hidup dalam nilai konvensional
Meskipun mereka hidup dengan berbagai gawai yang sangat canggih namun mereka masih hidup dalam nilai-nilai konvensional.
“Mereka masih berpikir wanita itu bisa dihargai hanya melalui penampilannnya saja. Sehingga, generasi muda saat ini sangat sibuk bagaimana caranya saya mempunyai penampilan yang menarik,” kata dia.
Intensitas remaja menggunakan media sosial, membuat mereka membanding-banding dirinya dengan yang lain. Ada dua hal yang bisa terjadi jika mereka sudah membanding-banding dirinya.
Mereka akan mengelabui publik dengan segala cara. Atau kemungkinan kedua, mereka akan bunuh diri.
“Pada tahun 2010 depresi menjadi gangguan terbesar di dunia dan diprediksi pada 2030 akan menjadi penyakit terbesar di dunia,” ujarnya.
Dunia digital membuat remaja kesulitan untuk menemukan kiblatnya sendiri. Sehingga, hal yang perlu dilakukan para orang tua adalah membantu mereka untuk keluar dari belenggu tersebut.
Salah satunya, dengan menjadi ‘people like me’ orang yang seperti mereka. Remaja akan mendengar dan mau bicara dengan orang yang dirasa sama dengan mereka.
“Jangan biarkan mereka jadi zombie digital, mari dampingi mereka dan sadarkan mereka,” tutupnya.