REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif dinilai perlu untuk dapat diintegrasikan dalam kurikulum nasional. Untuk itu, pemerintah pun didorong dan diminta meningkatkan kapasitas guru guna memberikan pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif.
Hal ini dilakukan oleh 135 remaja dari berbagai daerah di Indonesia yang berkumpul di Yogyakarta pada 28 hingga 29 September dalam Youth Pre-Conference 1st International Conference on Indonesia Family Planning & Reproductive Health (ICIFPRH). Mereka mmenyuarakan aspirasinya melalui #YouthOntheMove.
Youth Steering Committee Youth Pre-Conference ICIFPRH, Neira Ardaneshwari Budiono mengatakan, pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif ini sangat penting untuk diajarkan sedini mungkin kepada remaja. Hal ini guna mencegah hal buruk yang dapat terjadi.
"(Seperti) Pernikanan dini, kehamilan yang tidak direncanakan, dan persalinan di usia remaja dari 15 hingga 19 tahun. Yang kita tahu berpengaruh buruk pada kesejahteraan dan masa depan remaja," kata Neira, Ahad (29/9).
Ia menjelaskan, pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif ini juga sebagai bentuk investasi. Baik bagi pemerintah maupun bagi remaja yang notabenenya merupakan generasi penerus bangsa.
"Remaja butuh informasi tentang kesehatan reproduksi secara komprehensif, berkualitas dan berbasis bukti, agar kami bisa membuat informed choices tentang tubuh kita sendiri. Ini merupakan bentuk pemberdayaan anak muda," tambahnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN, Yani, menyambut baik aspirasi dan rumusan tersebut. Yang mana, saat ini BKKBN tengah melaksanakan program menjadi lembaga baru yang relevan untuk generasi milenial.
Untuk itu, kata Yani, ICIFPRH ini menjadi momentum penting dalam mendengar aspirasi remaja Indonesia. Yang mana, dirumuskannya kebijakan dan program yang semakin tepat sasaran.
"(Dalam rangka) Mengupayakan terciptanya generasi muda yang kompeten dan kompetitif, handal dalam merencanakan kehidupan berkeluarga, serta siap menyongsong bonus demografi," jelas Yani.
Walaupun begitu, upaya meningkatkan kesadaran pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi remaja, perlu kolaborasi dari banyak pihak. Di antaranya pihak swasta dan kalangan pekerja kreatif.
Penulis skenario dan sutradara film Dua Garis Biru, Gina S Noer mengatakan, pembuatan film tersebut merupakan salah satu bentuk dari keprihatinan orang tua. Yang mana, mereka peduli terhadap permasalahan remaja di Indonesia.
Menurut Gina, kampanye pendidikan kesehatan reproduksi remaja dan segala isu yang terkait di dalamnya, bukan hanya tanggung jawab pemerintah, aktivis, dan LSM. "Tapi juga kalangan pekerja kreatif," ujar Gina.
Sebab, pekerja kreatif dapat berkontribusi untuk menyampaikan ide-ide kreatif mereka dalam menjawab keprihatinan tersebut. Yakni dengan mengemas pesan-pesan pendidikan kesehatan reproduksi dengan produk kreatif yang mudah ditangkap sekaligus disukai oleh remaja.